Take - 5 -

40.8K 3.9K 98
                                    

Aku terus menerus melirik jam dinding terhitung sejak setengah jam yang lalu. Secara tidak sadar mulai meremas-remas ujung keliman gaunku. Mama yang sepertinya melihat kegundahan, kegalauan, kerisauan, atau apapun itu istilahnya kemudian mendekatiku. Memintaku membantunya untuk menata piring di meja makan.

Rencananya kami akan makan malam dengan steak wagyu yang sebelumnya Mama buat dengan Bik Asih sebelum akhirnya duduk di ruang tengah untuk membicarakan perihal lamaran itu. Bunyi decitan mobil di depan kemudian terdengar. Membuatku yang sedang menunduk untuk mengatur piring terakhir di meja makan berbentuk segiempat dengan delapan kursi yang jarang sekali digunakan itu, kembali menegang.

Mama, sekali lagi dengan intuisi atau sifat kelewat sensitifnya menyadari rasa gugupku. Dia mengelus lenganku dan tersenyum menenangkanku sebelum berlalu untuk membuka pintu yang kini sudah diketuk.

Papa yang sebelumnya bersemedi di dalam ruang kerjanya tiba-tiba sudah berada di samping Mama. Sementara Kilua dengan santai melenggang di sampingku.

Aku menyipit kepada Kilua dan dia balik melihatku dari atas ke bawah sebelum memberikan seringainya.

Dasar bocah kurang dicium!

Pintu kemudian terbuka. Menampilkan dua orang dengan sosok sederhana. Sang pria yang kuduga adalah ayah Arvind menggunakan celana kain dengan kemeja batik yang terlihat mahal. Sang wanita yang kuduga adalah ibu Arvind menggunakan gaun sepanjang lutut dengan bahan batik yang sama. Sementara Arvind tampil cukup sederhana dengan kemeja putih yang dibalut dengan jas berwarna hitam senada dengan celananya. Tidak jauh berbeda dengan penampilannya saat dia di kantor. Namun tanpa dasi. Penampilan itu sukses membuat napasku tercekat untuk beberapa saat.

Dia terlihat luar biasa tampan jumapan bagaikan Kamadewa. Hmm, Kamadewa adalah sosok dalam wayang Jawa yang diyakini sebagai dewa cinta dengan paras yang sangat elok. Karena dia adalah seorang dewa, jelas bukan jika ketampanannya seharusnya lebih dibanding Arjuna sang lanang sejagat? Lagi pula, aku memang lebih suka sebutan Kamadewa untuk Arvind karena Kamadewa hanya memiliki seorang istri yaitu Kamaratih dan setia kepadanya sampai mati.

Tentu saja, aku ingin Arvind juga selalu setia layaknya Kamadewa. Eeeh?

Mama dan ibu Arvind kemudian bertukar kabar. Melakukan cipika cipiki dan dari sudut mata, aku melihat Papa yang menjabat erat tangan ayah Arvind dan kembali bertukar kabar layaknya teman lama.

Tunggu, teman lama?

Aku memicingkan mata curiga kepada kedua orang tuaku dan terganggu saat Arvind mulai berjalan ke arahku. Dia tersenyum lembut padaku dengan binar mata seterang matahari namun juga selembut sinar rembulan yang membuatku kepayahan di tempatku.

"Hai, Kanaya. Kamu terlihat sangat cantik malam ini."

Arvind lalu menggapai sebelah tanganku. Mengecup punggung tanganku dan membuat bukan hanya aku saja yang tercekat, namun juga kedua wanita lain di tempat ini yang adalah Mama dan ibu Arvind.

Aku membisu. Gagal mengeluarkan segala omelanku yang tadi sudah tertata rapi di otak cantikku. Dibandingkan menjawab dengan, 'Oh, hai juga pria tampan jumapan yang sepertinya sudah sangat mengenal keluargaku. Kamu juga terlihat cukup sedap dipandang mata malam ini.'

Akhirnya aku hanya mengulas senyum tipis dengan tatapan yang kubuat setajam mungkin, yang sialnya hanya ditanggapi dengan senyum mautnya yang sepuluh ribu mega watt. Lebih mematikan dibanding senyumannya yang biasanya.

Di sinilah aku paham istilah bahwa Tuhan benar-benar tidak adil, yang sering digembor-gemborkan oleh para pecundang.

Memutus mantra --entah apa itu-- yang sedari tadi sepertinya sedang Arvind lancarkan kepadaku, Papa menggiring rombongan itu langsung ke meja makan. Pasangan Gumala itu menyambut ajakan Papa dengan antusias dan kecurigaanku bahwa kedua orang tuaku telah mengenal orang tua Arvind sebelumnya semakin menguat.

Take That [End]Where stories live. Discover now