That - 2 -

46.8K 4.2K 83
                                    

"Aku selalu serius dengan apa yang kukatakan, Kanaya." Dia memberikan jeda sebentar, menoleh ke arahku dan tersenyum miring. "Dan jika kamu masih saja memanggilku dengan sebutan Bapak, maka aku akan menciummu."

Mataku membelalak lebar. Dari tempatku, aku menatap tidak percaya pada sosok rupawan di depanku yang kini menatapku dengan raut wajahnya yang serius. Dia memang tidak main-main.

Tiba-tiba aku merasakan tenggorokanku dipenuhi pasir. Aku berdeham sebagai usaha untuk membersihkannya. "Sebaiknya kita bicarakan setelah sampai di restoran."

Pak, eh, Arvind kemudian mengiyakan. Membuatku menghela napas lega.

Sisa perjalanan menuju restoran kemudian aku isi dengan usaha untuk menenangkan debar jantungku. Demi apa aku bisa berada sedekat ini dengannya. Mimpi pun aku tidak berani.

Aku mendesah lega ketika mobil Arvind sampai di restoran cina yang tadi kusebutkan. Layaknya gentleman sejati dia turun terlebih dahulu dan membantuku membuka pintu mobil dan menawarkan tangannya padaku. Sontak wajahku terasa memanas dan bisa kubayangkan wajahku semerah tomat. Dia memang benar-benar layak mendapat julukan pangeran pujaan para kaum hawa.

Setelah mendapat tempat duduk, kami segera memesan dan kemudian suasana menjadi canggung untukku. Kami duduk berhadapan dan aku tidak tahu bagaimana atau apa yang harus kukatakan.

"Kamu selalu naik sepeda?"

Aku mendongak dari kegiatan mengamati kuku tanganku yang anehnya terlihat lebih menarik dibandingkan mengamati paras rupawan di depanku. Padahal tidak jarang aku dan para teman gosipku mengamatinya diam-diam sambil berbisik ria tatkala dia melewati deretan kubikelku.

"Eh, iya. Saat kuliah saya mengikuti klub sepeda dan sejak saat itu-"

Kata-kataku yang tidak jelas arahnya terhenti ketika tangan hangat dan besar milik Arvind menggenggam tanganku lembut. "Relax, Kanaya."

Aku tertawa kecil dan menghela napas panjang. "Jadi, apa Arvind," aku menekankan namanya. Membuat seulas senyum di wajahnya muncul.Aku menelan salivaku susah payah sebelum meneruskan, "Serius dengan apa yang kamu katakan tadi siang?"

Arvind menaikkan sebelah alisnya. "Sudah kubilang jika aku selalu serius dengan apa yang kukatakan, Kanaya."

Otakku berputar-putar. Entah mengapa mendengarnya menyebut namaku bisa membuat debar jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Kamu yakin?"

Dia mengangguk.

"Kamu tidak salah makan? Atau kepalamu baru saja terkena sesuatu? Atau mungkin kamu salah melamar seseorang."

Arvind terkekeh geli. "Kenapa kamu punya pikiran seperti itu, huh?"

Aku merasakan Arvind meremas tanganku. Membuatku untuk sesaat menatap tangan kami yang bertautan di atas meja.

"Karena sebelumnya kita tidak saling menyapa. Well, maksudku hubungan kita hanya sebatas atasan dan bawahan."

Arvind berjengit sedikit saat aku mengatakan kata terakhir. Yang benar saja. Dia tentu mengerti maksudku dan tidak memikirkan sesuatu yang iya-iya, kan?

Walaupun begitu aku merasa wajahku memerah dan aku diselamatkan oleh datangnya pramuniaga yang mengantarkan pesanan kami. Aku melepaskan tautan tangan kami. Membawa tanganku di bawah meja dan mendapat tatapan tidak suka dari pria di depanku.

Aku mencium aroma mapo tofu di depanku yang biasanya membuat air liurku terbit dengan tidak berminat. Urusan di depan hidungku lebih membuatku penasaran hingga mengabaikan rasa lapar yang harusnya kualami.

Take That [End]Where stories live. Discover now