Part 1

4.9K 167 15
                                    

Jika bagimu, pertemuan dengan Ibu hal yang biasa.
Tidak denganku, yang hanya bisa membaca tulisannya.
Jika bagimu, memeluk Ibu bisa setiap saat
Lain denganku, yang hanya bisa memeluk bayangnya

•••

Seorang gadis dengan kerudung cokelat tengah asyik dengan sebuah kertas yang tengah dipegangnya sedari tadi. Ditemani dengan cahaya bulan dan kumpulan bintang yang menambah keindahan langit malam. Hembus angin malam sesekali bersuara menembus keheningan.

Katanya buku itu adalah jendela dunia. Kepala yang sebesar ini, dengan ukuran otak seberat 1,4 kg bisa menampung milyaran pengetahuan. Tapi hatiku yang beratnya sekitar 1,25 kg hanya tersedia untuk satu tempat, hanya kamu dan tak ada tempat untuk yang lain.

Demikian tulisan yang Bunga tengah baca, si gadis yang tengah memegangi sebuah kertas yang diterimanya tadi pagi, sebelum akhirnya Ia memutuskan beranjak pergi menghempaskan tubuh di kasur empuknya. Malam semakin larut dan hembusan angin semakin menembus ke dalam tubuhnya. Makin larut, dinginnya angin makin bertambah.

Waktu telah menunjukkan pukul 23:15, lumayan cukup malam untuk waktu seorang Bunga. Dengan segera Ia hempaskan tubuhnya di kasur dan tak butuh waktu lama, hanya dalam hitungan menit Ia telah sampai di alam mimpinya.

Malampun terus berjalan hingga pada akhirnya jam weker miliknyalah yang membangunkan dari rasa kantuknya. Jam menunjukkan pukul 05:00, Bunga melangkahkan kakinya dengan gontai menuju arah kamar mandi.

"Selamat pagi Ayah! selamat Pagi Oma!" Sapa Bunga saat Ia telah selesai dari urusannya dengan seragam sekolah. Duduk dan melahap sarapan di meja makannya.

"Bunga, sekolah yang benar, jangan pacaran kalau di sekolah. Di rumah juga jangan. Kalau ada cowok yang suka sama Bunga, terus dia gangguin Bunga, bilang sama Ayah, nanti Ayah ajarin dia cara ngerayu cewek." Sembari mengoleskan mentega di rotinya, Sandi, Ayah Bunga memulai percakapan.

"Apaan sih Ayah, kok malah mau bantu cowok itu." Bunga menghentikan makannya untuk menanggapi ucapan Ayahnya.

"Jadi ada ya? Siapa?" Ayah bertanya penasaran, menatap Bunga dengan senyum manisnya.
"Eh, nggak lah. Nggak ada kok." Dengan cepat Bunga menimpali walaupun dengan nada yang agak gugup.

"Ada juga gak papa. Siapa namanya?" Ayah mulai memancing Bunga untuk menceritakannya.

"Apa sih Ayah." Bunga menghentikan sarapannya dengan meneguk segelas air putih.

"Bunga berangkat ya Ayah, Oma." Tangannya menyalami tangan Ayah dan Oma. Kemudian Ia mengucapkan salam yang selalu dilakukannya jika hendak pergi atau pun saat kembali ke rumah.

"Wa'alaikumsalam." Dengan serempak Ayah dan Oma menjawab salam.

Tak terlihat disana sesosok Ibu. Itu karena memang Ibu Bunga tak berada disana. Namun telah berada di alam yang berbeda. Ibunya kembali menghadap sang pencipta 17 tahun lalu, saat setelah beberapa hari melahirkannya.

Bunga berdiri di pinggir jalan tak jauh dari rumahnya, Ia menunggu angkutan umum yang lewat untuk mengantarnya sampai sekolah. Sebuah buku novel telah menemaninya selama 15 menit perjalanan. Ya, letak sekolahnya tak terlalu jauh.

"Bunga!" Teriak seorang padanya saat telah sampai di halaman gerbang sekolah. Belum sempat Bunga menengok dan menjawab sapaannya, orang itu telah berdiri disamping posisinya berada.

"Apa kabar?" Sapanya lagi. Mendengar ucapan orang itu Bunga mengernyitkan dahi dan terdiam sejenak.

"Memangnya aku habis darimana?" Bunga menutup buku novelnya dan memasukannya ke tas.

Diary Ibu (Cerita Usang Membawa Rindu) SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang