Part 9

709 38 0
                                    

Setelah selesai menghubungi Dean, Disha segera beranjak kembali ke ruang depan.

"Kak Bunga jangan dulu pulang ya? Tunggu Bang Otong datang. Ya, ya?Bentar lagi kok."

"Janji ya bentar?" Tanya Bunga memastikan. Karena memang Ia harus segera pulang.

"Iya kali. Iya deh iya. Hehe.."

"Mamah sama Papah Disha kemana? Dari pagi Kak Bunga belum lihat."

"Lagi kerja. Pulangnya malam."

"Mamah juga?"

"Mamah lagi ke acara hajatan temennya. Bantu-bantu disana. O ya kak, Bang Otong..."

"Kenapa Bang Otong?" Tanya Bunga yang mulai penasaran, ada apa dengan Dean.

"Kenapa ya? Nggak ketah. Hehee"

"Kenapa sama Abang?" Ucap Dean yang tak mereka sadari ternyata tengah berdiri di belakang mereka. Rupanya sejak dari tadi Dean mendengar percakapan mereka.

"Eh Abang sudah pulang. Darimana sih, katanya bentar." Ucap Dede sedikit kesal.

"Dari depan. Sudah mau pulang ya?" Dean mengarahkan fokusnya pada Bunga.

"Iya Abangku sayang. Kak Bunga mau pulang." Jawab Disha, sebelum Bunga menjawabnya.

Dean hanya ber'Oh' ria.

"Iya kak, aku pamit pulang. Sudah sore." Ucap Bunga kemudian.

"Bentar. Jangan dulu pulang!" Ucap Dean menanggapi.

"De, Abang tinggal sebentar gak papa ya?" Bisik Dean pada Disha. Agaknya dia merencanakan sesuatu yang entah apa.

"Kalau buat anterin Kak Bunga sih gak papa. Lama juga boleh." Jawab Disha dengan suara berbisik seperti yang Dean lakukan.

"Oke...oke"

Bunga hanya bisa memperhatikan mereka tanpa tahu apa yang tengah diobrolkannya.

"Ayo!" Ucap Dean kemudian.

"Ayo?" Tanya Bunga mengernyit bingung. Jangan bilang Dean mau mengantarnya pulang. Pokoknya jangan.

"Gue anterin lo pulang."

Kan benar, dugaannya sangat tepat sasaran. Bukan salah Dean yang ingin mengantarnya pulang, tapi masalahnya ada pada Bunga yang terkadang buntu cara bagaimana bersikap saat bersama Dean. Kenapa harus Dean itu Abangnya Disha? Itu malah akan membuat Dean bisa lebih dekat lagi dengannya.

"Tapi, aku kan bawa sepeda." Jawab Bunga, dan berharap Dean mengurungkan niatnya.

"Iya. Aku yang nyetir."

"Tapi Kak."

"Gak pake tapi-tapian, pokoknya aku yang anterin." Potong Dean yang memang tak mau menerima penolakan dari Bunga.

Bunga pun menurut. Sekarang mereka telah naik di sepeda itu dan melajukannya.

"Kalau Kak Dean anterin Bunga, nanti Kakak pulangnya naik apa?" Tanya Bunga. Pertanyaan yang sangat masuk akal, mengingat jarak antara rumah Dean dan Bunga cukup jauh jika tidak dengan menggunakan motor atau pun mobil.

Dean hanya tersenyum mendengar lontaran kata Bunga barusan.

"Apa yang lucu?" Tanya Bunga.

"Emang siapa yang ketawa?" Tanyanya.

"Itu Kak Dean senyum-senyum."

"Senyum itu bukan berarti ada yang lucu juga. Cuma lagi menyapa bumi saja."

Menyapa bumi? kok aneh. Ucap Bunga dalam hati.

"Rumahnya yang mana?"

"Nanti Bunga tunjukin. Bentar lagi di depan dikit lagi." Jawabnya.
Tak lama mereka pun sampai.

"Makasih sudah dianterin. Mau masuk dulu?" Ucap Bunga setelah turun dari sepeda. Untuk mengahargai Dean, tak salah jika Bunga menawarkan Dean untuk mampir ke rumahnya. Sekarang statusnya adalah tamu, dan tamu adalah raja.

"Lain kali saja. Kasian Dede di rumah sendiri." Jawabnya.

Bunga pikir Dean akan antusias menerima penawaran Bunga. Namun kali ini dugaannya melesat. Benar juga, Disha sendirian berada di rumah. Syukurlah, Jawaban yang tepat.

"Bunga!" Panggil Dean.

Bunga pun menengok, langkahnya belum jauh dari hadapan Dean.

"Rumahku menunggu untuk kau datangi kembali. Katanya dia rindu."

Hah? Dean mulai lagi dengan perkataan yang menurut Bunga bisa dikatakan lucu. Kenapa pake rumah segala bisa dia bilang rindu? Kan, dia ngawur. Orang aneh.

"Ya sudah cepat masuk." Ucap Dean kemudian. Bunga sendiri tak menjawab apa pun. Sepatah kata pun tidak.

Bunga pun kembali melangkah.

"Terima kasih telah membantuku menaklukan si rindu." Ucap Dean lagi.

Agak pelan, entah Bunga mendengarnya atau tidak. Ia hanya terus melangkah ke depan, memasuki rumahnya.

Hari dengan waktu yang sama. Pengalaman yang membedakannya.

•••

Kau bukan makanan yang bisa seenaknya aku pesan. Tapi aku mau kamu. Aku tau ini salah. Tapi aku mau kamu. Biarlah sang pengatur rasa yang tahu, sekarang aku mau kamu. Sampai jumpa besok, Bunga.

•••

Sembari menunggu angkutan umum lewat, Bunga memainkan handphone-nya. Jam masih menunjukkan pukul 06.20. Ia masih punya 40 menit lagi sebelum bel masuk sekolah.

"Assalamu'alaikum" Sapa Dean yang menghentikan laju motornya.

"Wa'alaikumsalam" Jawab Bunga agak terkaget. Kenapa pagi-pagi seperti ini Ia harus sudah bertemu dengan Dean. Padahalkan seharusnya Dean tak lewat jalan sini.

Kemudian Dean turun dari motornya. Berjalan menghampiri Bunga.

"Mau ikut bareng gue?" Ucapnya.

"Makasih, mau nunggu aja." Jawab Bunga.

Menunggu angkutan umum adalah pilihan terbaik menurutnya.

"Ya sudah. Gue temenin nunggu."

"Gak usah. Kak Dean duluan aja."

"Tapi gue mau disini."

"Ya sudah. Terserah Kakak."

Bunga sendiri tak bisa terus meminta Dean untuk tak menunggu bersamanya disana. Karena sudah pasti Dean tetap kekeuh dengan keinginannya. Lelaki yang benar-benar menyebalkan.

"Ayo ikut!" Ucap Dean kemudian, dan membuat Bunga bingung.

"kemana?"

"Sekolah. Naik motor." Dean menunjuk motor yang berada disampingnya itu.

Belum sempat Bunga menjawab. Akhirnya angkutan umum datang juga. Syukurlah, tepat sekali. Dean menghampiri si Mamang tukang supir. Entah apa yang hendak dilakukannya.

"Mang, titip jodoh ya? Bentaran doang, sampe gerbang sekolah."

"Siap Den."

kemudian Dean kembali untuk menaiki motornya. Melajukannya sampai sekolah.

*****

Diary Ibu (Cerita Usang Membawa Rindu) SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang