12. Pedekate

15.3K 1.3K 16
                                    

Nina

Kalau ada saat yang membuatku ingin menghilang dari dunia ini, maka inilah saatnya. Tapi, sebelum menghilang, aku memiliki satu hal yang harus aku lakukan terlebih dahulu; membunuh Rangga Pratama. Lelaki itu! Bagaimana bisa dia membuat lelucon separah itu? Maksudku, dia—yang notabene adalah sahabat terdekat Arjuna—mengatakan kalau Arjuna sakit parah. Bagaimana mungkin aku tidak percaya?

Ah. Seharusnya aku memang tidak percaya.

Bagaimana mungkin seorang Arjuna Adinegara—dengan kepribadian abnormalnya itu—mengidap penyakit kronis yang kalau kata Rangga akan membuatku kaget jika aku mengetahuinya?

Aku saja yang terlalu bodoh karena memercayai hal itu! Dan karena kebodohanku itu, Arjuna Adinegara rupanya menjadi sangat besar kepala. Dia tidak pernah lagi curi-curi pandang padaku, tapi secara terang-terangan menatapku di kelas. Dia tidak pernah mengajakku pulang bersama, tapi akan secara terang-terangan menghentikan mobil atau motornya di hadapanku dan akan mengikutiku dari samping kalau aku tidak mau ikut naik. Dia bahkan tidak membiarkan aku beristirahat darinya barang sebentar saja. Maksudku, dia selalu ada di mana pun. Dan jangan salah, aku masih tetap menjadi aku yang dulu. Jangan mentang-mentang aku pernah merasa bersalah dan khawatir padanya satu kali, aku jadi berubah baik padanya. Tentu saja tidak. Aku tetap tidak pernah menghiraukannya. Aku selalu mengacuhkan Arjuna. Tapi, dia memang memiliki kepribadian yang abnormal—seperti yang aku katakan sebelumnya—jadi dia sepertinya tidak akan pernah menyerah separah apapun aku memperlakukannya.

Seperti hari ini.

"Na, pulang ayo. Udah sore ini."

"..."

"Ninaaa."

"..."

"Udahan kenapa baca bukunya? Nanti gue dimarahin Nyonya Besar nih kalau pulang telat."

"..."

"Kalo nggak jawab juga gue cium nih."

"..."

"Satu."

"..."

"Dua."

"..."

"Ti –"

Aku mengangkat kepalaku dari sebuah novel terbaru karya John Green yang tengah kubaca. Dan aku langsung terkesiap begitu wajah Arjuna kini sudah berada beberapa senti di depan wajahku.

Aku mengejapkan mata. Tanpa sadar, aku bahkan menahan napas.

Lelaki itu tersenyum jahil dan kembali memundurkan wajahnya. Dia meraih novel di tanganku dan menutupnya sebelum dia kembali duduk di kursi tepat di hadapanku yang terhalang oleh sebuah meja kayu.

Kami sedang di perpustakaan sekarang. Ralat, seharusnya hanya aku yang ada di perpustakaan. Tapi Arjuna mengikutiku. Padahal, aku sengaja mencari tempat bersembunyi darinya, tapi dia menemukanku begitu cepat. Aku bahkan baru membaca satu halaman novel ini dan dia entah sejak kapan sudah duduk di hadapanku dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya duduk saja di sana. Menungguku membaca. Setelah sekitar satu jam aku membaca, sepertinya dia mulai bosan dan pergi, aku kira dia akan pulang dan meninggalkanku, aku sangat lega. Tapi sekitar setengah jam kemudian, dia kembali menghampiriku dengan tubuh berkeringat.

"Gue bosen, jadi main bola dulu. Masih mau baca?" itu yang dia katakan ketika dia datang tadi. Dan aku tidak menggubrisnya. Lalu dia kembali keluar dan datang lagi, kali ini dengan membawa cemilan dan minuman dingin di tangannya.

Na!Where stories live. Discover now