Bagian 7: Rasa yang Terlebur

2.5K 77 1
                                    

Aku menepati janjiku pada diriku sendiri untuk merawat Aidan. Meskipun banyak
waktu yang kukorbankan. Meskipun aku harus melewatkan waktu belajarku di pesantren
karena Aidan sering memintaku menemaninya sampai larut malam atau dia sengaja
memintaku menginap di rumah Bibi Sarah. Aku sungguh tak bisa menolak permintaannya.

“Maukah kau menginap disini? Aku butuh teman untuk mengobrol. Paman dan Bibi
pergi ke Jakarta…” pintanya suatu hari.

“Aku ingin malam ini tahajud bersamamu.” Katanya di lain hari.

Jika sudah begitu, aku tak bisa menolaknya. Aku hanya bisa berkata. “Baiklah…”

Lagipula aku senang berada di sampingnya. Meskipun Aidan tak memintaku aku
sendiri yang datang menemuinya. Aku memanfaatkan keberadaannya disini. Toh aku tak bisa
setiap hari bersama dengannya. Aku hanya punya waktu yang terbatas bersamanya, dia akan
segera kembali ke Inggris jika dia telah sembuh nanti.

Hari keempat belasnya di Bandung, Aidan telah meninggalkan kruknya. Dia telah
dapat berjalan dengan baik. Meskipun dia masih berjalan tak selancar biasanya. Dua bulan
sudah Aidan tinggal di Bandung. Keadaannya sudah jauh lebih pulih dari sebelumnya. Dia
pun dapat berjalan dengan normal seperti biasanya.

Siang itu dosenku baru saja meninggalkan kelas. Ketika tiba-tiba handphoneku
berdering.

My Prince memanggil…

Aidan? Kenapa dia meneleponku sekarang? Aku segera menjawab panggilannya.

“Assalamualaikum…” ucapku.

“Waalaikumsalam.” Jawabnya.

“Ada apa? Baiklah beberapa saat lagi aku akan ke rumah bibi Sarah.” Ujarku.

“Tidak usah… coba kau lihat ke halaman gedung kampusmu.”

“Sekarang?” tanyaku

“Tentu.” Katanya

Aku segera melangkah menuju jendela. Pandanganku menyapu seluruh halaman
gedung. Aku melihat Aidan berdiri di sebuah anak tangga menuju gedung fakultasku. Aku
melambaikan tangan padanya. Dia membalasnya. Aku segera berlari untuk menghampirinya.

“Saila, kau akan pergi kemana?” teriak Rahma teman sekelasku.

“Pulang.” Jawabku. Aku terus berlari hingga keluar gedung dan menemuinya dengan
nafas terengah-engah.

“Aku tak tahu, kalau kau akan datang menemuiku di sini.” Ucapku pada Aidan.

“Aku ingin membuat kejutan untukmu. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
Jelasnya.

“Suatu tempat? Kau akan membawaku kemana?” tanyaku penuh penasaran.

“Ke Masjid dimana pertama kalinya aku mengucapkan kalimat syahadat.” Ujarnya.

“Aku ingin mengenang masa lalu yang indah disana.” Ujarnya lagi penuh semangat.

“Masjid Daarul Ihsan?” kataku terkejut. Aku tak mungkin ke Masjid itu. Bagaimana
jika aku bertemu dengan teman-temanku disana? Mereka bisa bersuudzan padaku, pergi
dengan laki-laki yang bukan mahram. Itu akan menyebabkan fitnah.

“Aku tak bisa kesana.” Kataku.

“Kenapa?” dia menatapku heran.

Aku membalasnya dengan tatapan ragu dan penuh rasa bersalah. Haruskah aku
menceritakan semuanya pada Aidan? Apa dia takkan marah padaku?

Seribu tanya, gelisah dan takut menyerbu diriku. Merontokkan seluruh tulang,
melemaskan otot dan sendi-sendi tubuhku. Aku menatap Aidan dengan rasa malu yang tak
dapat kusembunyikan lagi. Tamatlah riwayatku sekarang. Apa yang harus ku katakan
padanya? Pembelaan diri yang seperti apa yang akan aku persiapkan untuk menghadapi
kemarahannya nanti? Bagaimana cara dia marah? Apa dia akan berteriak di hadapanku
seperti ketika dia marah di lapangan pada wasit atau lawannya, saat dia kecewa? Tapi itu
dulu sebelum dia menjadi muslim. Aku tak pernah melihatnya marah lagi di lapangan
sekarang. Lalu apa dia takkan marah padaku? tapi rasanya itu tak mungkin.
Segala pertanyaan berputar-putar dalam benakku. Keringat dingin mengalir di
tubuhku. Aku menatapnya dengan rasa yang semakin berdebar-debar. Tatapannya semakin
melukiskan keheranannya yang semakin mambuncah dan tak mampu untuk di bendung lagi.

Samudera HatiWhere stories live. Discover now