Bagian 14: Mahar Terindah di atas segala yang Istimewa

2.5K 72 1
                                    

Hari yang dinanti itu datang, seperti yang diharapkan oleh keluargaku akad nikah
kami dilangsungkan di Masjid dekat rumah Mas Deniez dengan sangat sederhana. Hanya
kerabat dan teman-teman terdekat yang kami undang, namun semuanya terasa sangat
khidmat.

“Saya terima nikahnya Saila Najla’ Ashalina binti Rahman dengan mahar sebuah
buku dan cara menjelaskannya dibayar tunai.”

“Aku bahagia melihatmu bahagia, Saila.”Suara itu kembali membisik dihatiku, tapi
kali ini rasa sedih menyergap hatiku. Aku merindukan pemilik suara itu. Butiran bening
menghalangi pandanganku.

“Aku tak percaya kamu menikah dengan pria yang kita temui di perpustakaan itu.”
Bisik Rahma membuyarkan lamunanku.

“Ayo Saila...” Kak Wafa dan Rahma menuntunku keluar untuk menemui suamiku.
Aku telah berdiri di depan pria itu, Haekal El Syahidan. Dia tersenyum padaku. Aku
membalas senyumannya. Dengan ragu Haekal mengulurkan tangannya dan menyentuh
tanganku. Haekal memandangku, namun aku memalingkan pandanganku pada tamu yang
hadir. Ku tebarkan pandanganku pada tamu-tamu, hingga pandanganku terhenti pada dua
orang tamu yang wajahnya sudah sangat ku kenal, Paman Ali dan Bibi Sarah yang tengah
berdiri di depan pintu Masjid.

“Paman Ali! Bibi Sarah!” panggilku pelan. Aku menatap Haekal dalam-dalam
mencoba mengatakan dari hati ke hati. Haekal dan aku menoleh kearah pintu, namun aku tak
menemukan mereka lagi.

“Hanya halusinasiku.” Ucapku pada Haekal, meski dalam lubuk hatiku yang terdalam
aku meyakininya mereka bukan halusinasiku.

Haekal membacakan surat Ar Rahman sebagai hadiah pertama pernikahan kami. Aku
menyimaknya dengan air mata tak henti meleleh diiringi bayangan seorang pria terluka yang
membacakan surat itu dengan lancar di malam yang bertabur salju.

Hari pun telah malam, semua tamu termasuk keluarga Haekal telah pulang. Aku
terduduk di kamarku menghempas rasa lelah setelah seharian beramah-tamah dengan para
tamu undangan. Sedangkan Haekal sendiri masih asyik mengobrol dengan Mas Fadli di
ruang tamu. Sambil melepas lelah aku mendengarkan lantunan murattal dari MP4 yang masih
terasa misterius bagiku meskipun Kak Wafa mengatakan itu pemberian darinya. Sekilas aku
melirik mahar yang tergeletak di atas tempat tidurku. Sebuah buku yang dibungkus rapih,
dalam hati aku penasaran buku apa yang diberikan Haekal untukku, sepertinya terkesan
sangat rahasia. Ah paling juga buku fiqh sunnah atau kumpulan hadits Bukhari-Muslim.

Seseorang mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya. Kulihat
Haekal membuka pintu kamarku dan melemparkan seulas senyuman padaku. Aku
membalasnya dengan tulus. Aku melepaskan earphone dari telingaku.

“Assalamualaikum istriku.” Haekal kembali memberiku salam.

“Waalaikumsalam suamiku.” Balasku. Senyuman segera merekah di bibirku.

Lantas Haekal mengajakku sholat sunnah berjamaah. Aku pun berdiri dibelakangnya.
Selesai sholat Haekal menyentuh kepalaku dan membacakan doa. Aku mengamininya dengan
penuh kekkhusyukan.

Aku dan Haekal duduk di atas tempat tidur. Haekal meraih mahar yang tergeletak tak
jauh darinya.

“Istriku aku tak sabar untuk menjelaskan buku ini padamu.” Ujarnya. “Kamu tahu
buku apa ini?” aku segera menggeleng. Aku memutar bola mataku.

“Ini adalah sebuah buku milik sahabat dekatku.”

Aku mengernyitkan dahiku. “Kenapa kakak menjadikan mahar untukku?”

“Kamu akan tahu kenapa aku memberikannya sebagai mahar untukmu setelah aku
menjelaskannya padamu.” Jelasnya. “...tapi sebelum aku menjelaskannya, aku akan sedikit
menceritakan bagaimana buku ini ada padaku sekarang.”

Samudera HatiWhere stories live. Discover now