Bagian 10: Dinding Kaca

2.3K 71 1
                                    

Hari itu semua orang telah berkumpul di sebuah aula pesantren yang terletak di
sebelah barat laut dari asramaku, untuk mengadakan upacara wisuda. Aula itu telah sesak di
penuhi oleh para santri yang di dampingi orang tua dan kerabatnya yang turut hadir untuk
menyaksikan acara yang dinanti para santri itu.

Hanya Kak Salwa dan aku yang tak di dampingi oleh orang tuanya. Meski begitu salah seorang kakak lelaki Kak Salwa datang
untuk mendampinginya. Sedangkan aku? Aku benar-benar sendiri. Ayahku tak datang, beliau
masih marah padaku dan ibu takkan mungkin datang tanpa ayah, beliau terlalu patuh pada
perintah ayahku. Kak Wafa sendiri saat ini pergi ke Solo untuk mengunjungi mertuanya yang
telah lama tak di kunjunginya. Mas Deniez dan kak Yasmin pun tak bisa datang, karena harus
menjaga Nawfal yang demam sejak tadi malam dan si kecil Ayla yang baru berumur satu
tahun. Acara telah berlangsung satu jam yang lalu. Suasananya sangat meriah, mulai dari
tausyiah dari pak Kyai, hingga kreasi seni yang menyajikan nasyid dan pembacaan puisi
Islami.

Tak ada satupun acara yang aku ikuti dengan sepenuh hati. Pikiranku terus terbayang
pada ayah dan Aidan. Keduanya terus melintas dalam benakku silih berganti.

"Saila..." Kak Erin memanggilku dan membuyarkan semua lamunanku. Ia duduk di
kursi kosong di sampingku.

"Keluargamu tak ada yang datang?" tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku
perlahan.

"Sabar ya..." ucapnya lembut. Aku mengangguk. Kak Erin rela meninggalkan
keluarganya hanya untuk menemaniku bercakap-cakap.

"Suamimu juga tak datang?" tanyanya lagi.

Aidan? Bahkan aku tak mengharapkannya lagi untuk datang disini.

"Aku tak tahu. Mungkin beliau sibuk." Ujarku datar.

"Assalamualaikum..." aku mendengar suara seseorang menyapa kami beberapa menit
setelah itu.

"Kang?" Kak Erin sedikit terkejut melihat sosok yang baru saja mengucapkan salam
itu. Aku sendiri enggan untuk menoleh pada laki-laki itu bahkan hanya untuk ingin tahu siapa
dia.

"Saila, kenalkan ini Kang Aidan alumni santri privat disini." Ujar Kak Erin. Aku
tersentak, aku segera menoleh pada laki-laki itu.

"Kami telah saling mengenal." Ujar Aidan. "Beliau ini istri saya." Tambahnya. Kini
giliran Kak Erin dan Iis yang duduk tak jauh dari tempat kami duduk tersentak kaget.

"Saila..." desis Iis. Pandangannya terpusat tajam padaku setajam mata anak panah.
Aidan menyodorkan setangkai mawar putih padaku. Aku hanya memandang mawar
itu sinis. Aku beranjak dari tempat dudukku dan melangkah meninggalkan aula yang cukup
bising itu. Aidan mengikuti di belakangku.

"Aku ingin tahu, kejutan apa yang akan kau berikan padaku?" tanya Aidan dengan
senyum khasnya.

"Tak ada kejutan apapun." Jawabku dingin. Aku terus melangkah menuju tempat
parkir di samping aula itu. Aku melihat Audi A3 hitam milik Paman Ali terparkir disana.

Aidan pasti yang membawanya. Dengan SIM internasional yang dimilikinya, dia dapat
mengendarai kendaraan di Negara manapun yang mengakui SIM tersebut.

"Bukankah kau mengatakan kau punya kejutan untukku?"

"Kau salah, aku tak punya kejutan apapun untukmu." Ujarku ketus.

"Ada apa denganmu Saila? Kau begitu dingin padaku." Aidan menjejeri langkahku

"Apa ada masalah? Apa ini yang jadi permasalahan kau tak mau mengangkat telponku?"

"Kenapa kau harus bertanya itu padaku? Bukankah kau lebih tahu jawabannya?"

"Aku tak mengerti."

Samudera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang