Prolog

20.3K 2K 15
                                    

"Buru-buru amat, Ti?" Hasmi langsung menoleh saat mendengar suara-suara grasak-grusuk dari meja rekan di sebelahnya.

"Mau ngejar kopaja, Kak!" sahut perempuan bernama lengkap Tia Andiniaji yang hari itu mengenakan hijab berwarna peach yang cukup memberikan efek cerah dari outfit seragam kantornya yang berwarna navy.

"Gue duluan ya, Kak. Assalamualaikum!" Sambil mengenakan kardigannya, Tia langsung berlari meninggalkan ruangannya.

"Ti, Ti, naik o-- yaah udah kabur tuh anak." Hasmi yang baru saja ingin menunjukkan sesuatu dari handphonenya pada Tia pun terpaksa meletakkan kembali ponselnya di meja.

Masih dengan langkah cepat-cepat setengah berlari, Tia menuruni anak tangga sambil mengenakan maskernya dan mengangguk sesekali saat berpapasan dengan sesama karyawan yang bekerja di perusahaan yang menjadi tempatnya mengumpulkan pundi-pundi uang saat ini.

Melirik jam bertali rantai yang melingkar di pergelangan tangannya, Tia menambah kecepatannya.

"Bang, tunggu!" serunya sambil melambaikan tangan saat angkutan umum seukuran bis, namun lebih kecil, berwarna hijau bertuliskan 'KOPAJA' lewat di depan kantornya.

"Ayo neng, ayo neng!" Sang kenek yang mendengar panggilan Tia pun bergegas turun sambil mengetok-ngetokkan uang logam ke badan kopaja pertanda agar sang supir menghentikan lajunya.

Tia memilih berbagi tempat duduk dengan ibu-ibu yang telah lebih dulu duduk di barisan depan sebelah supir. Sebisa mungkin ia menghindari untuk duduk apalagi sampai berdiri di belakang karena umumnya rawan terjadi pencopetan. Tia sendiri pernah jadi korbannya sewaktu zaman sekolah saat handphone blackberry masih booming. Ia harus rela kehilangan ponselnya padahal di casenya itu terdapat tanda tangan dari idola yang disukainya.

Sambil memasang headset ke telinga, Tia membuka web khusus para mahasiswa dari kampusnya untuk mengecek jadwal kuliahnya hari ini. Kuliah sambil kerja membuat Tia wajib untuk mengelola waktunya sebaik mungkin. Untuk itu sebisa mungkin setelah jam kantor selesai Tia akan langsung mencari kopaja untuk pergi ke kampus. Jarak antara kantor dan kampusnya yang cukup jauh ditambah keadaan jalan yang tak terprediksi kemacetannya membuat Tia harus bergerak cepat jika dia tidak mau ketinggalan jam kuliahnya.

Setelah melihat jam kelasnya dimulai, Tia pun memasukkan kembali ponselnya ke dalam tasnya. Melempar pandangan ke jendela di samping kirinya, Tia menghela napas sesaat. Pemandangan jalan kota Jakarta di sore hari--terutama jam pulang kantor-- sangatlah semrawut. Kendaraan yang saling berebutan jalan di tengah kemacetan, beberapa pengendara yang melanggar rambu lalu lintas, suara klakson yang saling bersahutan, ditambah asap-asap hitam dari knalpot kendaraan yang mengotori udara, lengkap sudah kondisi itu untuk membuat pusing siapapun yang terjebak di dalamnya. Begitupun halnya dengan Tia. Untuk itu ia memilih memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya di jendela. Gestur sederhana yang sebenarnya menampilkan pesan bahwa ia tidak ingin berinteraksi dengan apa atau siapapun.

***

"Ojek online?"

Pria yang hari itu mengenakan kemeja lengan panjang warna biru telur asin yang bagian tangannya ia gulung sampai ke siku membaca selembar brosur di tangannya dengan kening berkerut.

"Apaan nih Lang maksudnya?" tanyanya lagi.

"Gini loh, Yo. Lo tahu kan transportasi umum di Jakarta kualitasnya masih kurang memuaskan? Naik angkot, abangnya ngetem mulu. Naik kopaja, supirnya udah kayak bawa rollercoaster bikin jantungan. Naik transjakarta, nunggunya lama. Naik taksi, suka jarang ditemuin. Naik ojek atau bajaj, abangnya suka matok harga kelewatan. Kita kesampingin soal kasus kriminal dalam kendaraan umum ya karena bukan itu yang mau gue bahas disini."

Pria bernama lengkap Tio Aryasetya itu mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan dari Galang yang telah bersama-sama dengannya sejak menempuh pendidikan di bangku Sekolah Menengah Pertama. Daripada menjadi karyawan seperti dirinya, Galang lebih tertarik untuk membuka usaha sendiri. Lagipula ekonomi keluarganya memang memungkinkan untuk mendanainya membuka usaha jadi tidak ada salahnya bagi Galang untuk mencoba.

"Terus gue kepikiran kayaknya enak kali ya kalau kita bisa naik kendaraan umum yang bisa kita panggil kapan aja kita butuhin tanpa harus nunggu lama, desek-desekkan, atau lari-larian buat nyarinya. Karena kalo bawa kendaraan sendiri, selain nambah kemacetan, juga gue sih secara pribadi kadang suka males. Apalagi kalo lagi capek terus masih harus nyetir, duh males banget kan?"

"Jadi karena itu lo bikin usaha ojek online ini?" Tio mencoba merangkum inti alasan Galang mendirikan usahanya yang bergerak di bidang jasa ini.

"Right! Dan, drivernya tuh gak harus tukang ojek asli. Gimana? Lo mau join ga? Itung-itung bantu gue promosi gitu. Lu kan banyak yang naksir, Yo. Followers instagram juga mostly cewek-cewek semua. Pasti bakal heboh dan banyak yang mesen ojek online kalo tahu drivernya ganteng."

Tio tertawa mendengar pujian klise dari sahabatnya itu. Kalau dipikir-pikir gak ada ruginya juga sih dia jadi driver ojek online. Toh lumayan juga buat nambah-nambahin duit isi bensin sehari-hari. "Oke, gue mau bantu," jawab Tio kemudian. "Tapi syaratnya jangan sampai ganggu office hour gue."

"Serius lo, Yo?"

Tio mengangguk. "So, apa yang mesti gue lakuin?"

Galang merangkul bahu Tio sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih. Setelahnya baru ia menjelaskan pada pria itu apa yang harus dilakukannya.

"Nih lo download applikasi yang khusus buat drivernya dulu."

Tio mengambil ponselnya kemudian mencari applikasi yang dimaksud oleh Galang lalu mengunduhnya.

"Kenapa nama applikasinya Ojek-Zone?" komen Tio.

"Karena yaa gue maunya usaha gue ini emang dikenal sebagai 'wilayahnya ojek' gitu. Kayak emang udah jadi tempat khususnya. Jadi orang kalau mau naik ojek ya carinya lewat applikasi ini."

"Hoo." Tio membulatkan mulutnya sambil mengangguk-angguk. "Ini gue harus daftar dulu?" tanya Tio saat applikasinya sudah selesai terunduh.

Galang menjawabnya dengan anggukan.

Setelah memasukkan nama lengkap, foto, nomor handphone, jenis kendaraan dan juga plat nomor motornya, jemari Tio berhenti di kolom 'Nomor Registrasi'.

"Nomor registrasi diisi dengan nomor yang telah diberitahukan pihak perusahaan." Tio diam sejenak usai membacakan keterangan yang tertulis pada kolom itu. "Nomor registrasinya gimana isinya kan gue gak tahu," lanjutnya kemudian.

"Tulis aja nama gue. Udah gue konfirmasiin ke adminnya kok."

Tio mengikuti apa yang Galang perintahkan, dan benar saja setelah mengklik 'OK' layar ponselnya langsung menampilkan tulisan: Wellcome, Tio! Selamat bergabung dengan Ojek-Zone. Ingat selalu moto kita 'Nyaman Di Perjalanan, Selamat Sampai Tujuan'.

Galang kemudian mengulurkan tangannya ke hadapan Tio. "Selamat gabung dan sekali lagi makasih banyak. Urusan gaji lo udah pasti gue bedain perhitungannya sama driver lain."

Tio menyambut uluran tangan Galang, "Santai sih Lang. Samain aja. Anggap aja itung-itung gue freelancer di perusahaan lo."

"Gak bisa gitu lah, Yo. Kan gue yang butuh lo. Udah, soal gaji pokoknya keputusan gue gak bisa diganggu gugat."

Tio akhirnya mengangguk. Percuma kalau dia beradu argumen dengan Galang. Lagian lumayan juga lah uangnya buat nambahin tabungan modal nikah. Tio emang belum punya calonnya sih, cuma yaa nabung aja dulu.

***

To be continue

8 Maret 2017

OJEK-ZONEМесто, где живут истории. Откройте их для себя