Part 16

4.5K 309 41
                                    

Makasih banget buat 32 vote,14  koment dan 64 readsnya ^^ ahh senang banget saya.

Enjoy♡♡
******

Benar apa yang Genta bilang, apa yang kita harapkan tidak akan selalu terjadi. Adhela kembali menangis ketika mengingat kata-kata kakak sulungnya itu, semua yang dia harapkan tidak terjadi justru ini berbanding terbalik dengan apa yang Adhela harapkan.

Adhela merindukan kakak sulungnya itu, Adhela merindukan suasana rumah. Semenjak kepindahannya Adhela menjadi merasa jauh dengan keluarganya, sekarang ia hanya berdiri dengan kedua kakinya tanpa teriakan semangat dari keluarga kesayangannya itu.

Tepat pukul sembilan malam, Devo masih juga belum pulang. Permintaan maaf Devo kemarin ternyata hanya lah maaf tanpa ada perbuatan dari sikap Devo sendiri, tanpa sadar air mata Adhela terjatuh. Sesekali Adhela mengusapnya dengan kasar, matanya mengantuk tapi tidak ada orang yang mau melakukan ritualnya itu.

Rasanya tidak mungkin jika Adhela harus menghubungi Davina kembali, bisa-bisa mereka semakin berfikir yang tidak-tidak tentang keluarganya itu.

Ternyata menikah secepat ini dengan orang tidak mencintainya itu rasanya.

Perih.

Sakit.

Dan masih banyak lagi kata yang dapat mewakilinya, padahal Adhela berusaha untuk mengenal apa itu cinta beberapa kali Adhela mencari jawabannya di google meskipun hasilnya nihil.

Adhela menghapus air matanya dengan kasar ketika mendengar suara pintu yang terbuka, itu pasti Devo siapa lagi jika bukan Devo. Adhela segera bangkit dari posisinya menatap Devo yang dibopong oleh Tama dan satu orang cowok yang tidak Adhela kenali, dari gelagatnya sepertinya mereka itu bersahabat.

"Bisa tunjukin kamarnya?" tanya Tama yang masih berusaha menahan tubuh Devo yang cukup berat, Adhela menatap suaminya itu tidak percaya. Devo sudah mengenal alkohol, berarti kemungkinan besar Devo sudah terbiasa dengan dunia malam.

"Dhel." Adhela tersentak kaget setelah Tama memanggilnya.

"Di atas, di sebelah kiri," kata Adhela, seakan paham keduanya membawa Devo ke atas dengan tertatih-tatih, Adhela menjatuhkan tubuhnya di lantai. Jadi ini Devo yang sebenarnya? Cowok yang suka keluar malam dan mengkonsumsi alkohol?

Tanpa sadar air matanya menetes, menangisi nasibnya yang sepertinya kurang beruntung. Menikah dengan Devo yang sama sekali tidak mencintainya, hanya tinggal berdua tanpa ada orang tua.

Tuhan, kuatkan aku....

"Ini kunci mobilnya Dhel, ini pertama kalinya Devo mencicipi alkohol. Sebelumnya dia tidak pernah sedikitpun mencicipi minuman beralkohol," kata Tama seraya menyerahkan kunci kepada Adhela.

"Kamu gapapa?" tanya cowok jangkung yang saat ini tengah berjongkok menghadap ke Adhela dia Adrian sahabat Devo, mungkin dia merasa iba kepada Adhela. Sahabat Devo tau semua tentang status dan hubungan Devo dengan Adhela, karena mereka di undang kepernikan Adhela dan Devo.

Adhela menggeleng, dia bahkan tidak tau dia baik-baik saja atau tidak. "Devo nggak seburuk yang kamu pikirkan, mungkin dia hanya mengalami stres berat hingga terpaksa harus mencicipi alkohol untuk menghilangkan sedikit stresnya," tambahnya lagi, Adhela hanya memandangnya dengan tatapan kosong.

Air matanya mengumpul di pelupuk matanya jika Adhela berkedip maka runtuh lah semuanya. "Jangan nangis dia nggak mati kok," kata Tama sebelum dia benar-benar pergi meninggalkan Adhela dan Adrian di sana.

Adrian mengulurkan tangannya, berharap Adhela mau menerima uluran tangannya. "Bangunlah, jangan seperti ini. Wajah cantikmu akan pudar jika kamu menangis terus," Adhela menatap sendu Adrian, bahkan teman-teman Devo saja sikapnya hangat. Tapi kenapa Devo sendiri sikapnya seperti itu? Dingin dan sulit diselami.

Adhela menerima uluran tangan Adrian, Adrian tersenyum lalu menuntun Adhela untuk duduk di sofa. "Jangan menangis, kau terlihat jelek," kata Adrian seraya menghapus air mata Adhela dengan ibu jarinya.

"Aku permisi pulang, istirahatlah jangan lupa kunci pintu ya," pamit Adrian.

"Terima kasih Kak," kata Adhela, Adrian hanya tersenyum kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu utama untuk pulang.

Andai saja itu adalah Devo, mungkin Adhela tidak akan pernah menyesali pernikahannya ini. Pernikahan yang seharusnya tidak pernah terjadi, umurnya masih belum cukup untuk menikah.

"Adhela masih belum ngerti kak, apa ini karma atau memang ini takdir untukku?" tanya Adhela lirih, menatal sendu Devo yang tengah mendengkur halus pertanda bahwa cowok tersebut tertidur.

"Mama selalu bilang, jika kita memperlakukan baik orang lain, maka kita juga akan diperlakukan baik oleh orang lain." Adhela mengusap rambut Devo, menyisirnya dengan kelima jarinya.

"Mungkin sikapku selama ini terlalu jahat kepada orang lain hingga Tuhan memberikan takdirku dengan jalan yang seperti ini, miris." Adhela lagi-lagi hanya bisa terisak, apa dirinya masib sanggup menerima semua perlkuan buruk dari Devo? Apa Adhela masih sabar menerima semua perlakuan Devo itu?

"Tolong kasih tau Adhela Kak, ajari Adhela. Kasih tau Adhela caranya biar Kakak nggak gini terus? Kalo Kakak mau kita bercerai, mari kita bercerai." Adhela terisak, air matanya semakin derah membasahi pipinya.

Bercerai adalah kata yang paling menjijikan bagi Adhela, dia bahkan menikah dibawah umur. Apa mungkin dia juga harus menjadi janda di bawah umur? Kenapa hidupnya sesulit ini? Kenapa hidupnya serumit ini?

Devo bergerak-gerak gelisah, mungkin dia terganggu dengan suara isak tangis Adhela dan tangan Adhela yang mengusap lembut rambutnya itu.

Matanya perlahan terbuka, kepalanya berdenyut nyeri efek dari alkohol yang Devo minum. Devo tersenyum ketika dia melihat seorang gadis yang menatapnya dengan sendu, tangannya dengan cekatan mengusap air mata tersebut. Kesadarannya masih belum sepenuhnya terkumpul mungkin hanya beberapa persen kesadarnnya itu berkumpul.

"Jangan nangis, maafkan aku." Adhela mengusap air matanya dengan punggung tangannya, di dalam hatinya Adhela bersyukur setidaknya Devo masih perduli kepadanya dan sudi meminta maaf kepadanya.

"Aku melakukannya hanya untuk menghilangkan stres, tolong mengerti lah." Devo berbicara masih dengan suara yang lemah, sesekali Adhela meringis ketika melihat mata juling Devo akibat dari pengaruh alkohol.

Senyumnya tidak pernah pudar dari wajah Devo, dia menarik wajah Adhela kehadapannya. Mencium bibir Adhela cukup lama hingga tanpa Adhela sadari tadi dia memejamkan matanya menikmati ciuman tersebut, hingga Adhela sadar dan melepaskan ciumannya itu.

Devo tersenyum, "kau masih belum siap ternyata." Adhela memejamkan matanya, ini menggelikan. Bahkan di umur yang masih 16 tahun dia harus membicarakan hal-hal yang biasa orang dewasa lakukan, Adhela memperbaiki posisinya hingga ikut tertidur sejajar dengan Devo.

Devo memeluk tubuh Adhela dengan erat, mencium  kening gadis itu seperti biasanya.

"Maafkan aku, maafkan aku yang masih belum bisa membahagiakanmu. Syaf!"

*******

Tuh udah aku kasih cowoknya wkwkwkwk....

Jadi bagian mana yang kalian suka? Dan bagian mana yang harus dikoreksi?

Jangan pernah bosen yaaaa

ForelsketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang