2. Selamat datang di Tahun 1989

608 26 2
                                    

Jakarta, Jumat, 21 Juli, Tahun 1989.

Suara burung berkicau sebenarnya adalah suara yang cukup mengerikan untuk Alga. Ia malas mendengar suara burung itu apalagi saat ia sedang tertidur. Alga terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba hari sudah siang. Entah pukul berapa sekarang Alga tidak mau tahu. Yang jelas, ia hanya ingin tahu, berada dimana ia sekarang. Ketika ia terbangun, ia mengedarkan pandangan ke seluruh pemandangan yang ada. Dan nyatanya ia berada di pematang sawah.

"Hah? Gue dimana ini?" Alga clingak-clinguk. Terus mengedarkan keseluruh pemandangan yang ada. Hanyalah sawah melintang di seluruh pandangan. "Kok gue bisa disini?"

Seorang bapak-bapak membawa cangkul cukup mengagetkan Alga. "Adik. Adik sedang apa disini? Mengapa bisa tertidur disini?"

Dari caranya berpakaian, Alga bisa mengetahui bahwa ia seorang petani. Namun entah kenapa Bapak ini berbahasa sangat baku dan sangat asing terdengar oleh Alga kecuali pada saat jam pelajaran Bahasa Indonesia.

"Adik tidak apa-apa?" tanya Bapak petani tersebut.

Alga tidak menjawab. Ia masih memandangi persawahan yang tepat berada di hadapan matanya. Dia kebingungan. "Dimana nih?"

Mendengar pertanyaan Alga, Bapak petani terlihat bingung. "Adik tengah berada di ladang sawah. Tadi adik tertidur disini. Bagaimana bisa?"

"Rumah saya dimana?" tanya Alga. Ia ikut berbahasa sopan pada Bapak petani.

"Seharusnya saya yang bertanya seperti itu pada adik. Rumah adik dimana?"

Alga tidak menjawab. Ia terus mengedarkan pandangannya. Matanya tertuju pada sebuah jalan besar di ujung sana. "Loh, itu disana bukannya jalan trans, ya? Jalan anggrek, kan? Jalanannya kayak jalanan yang sering saya lewatin!" ujar Alga, bingung.

"Disana memang jalan anggrek, Dik" ujar Bapak Petani.

"Kalau begitu. Ini..." Alga clingak-clinguk. "Ini rumah saya, Pak. Disini rumah saya!"

"Apa?" Bapak Petani semakin tak mengerti dengan ucapan Alga.

"Disini rumah saya, Pak. Tapi... tapi... kok ini sawah semua, ya?"

"Ini memang sawah sejak dulu, Dik. Ini area sawah milik saya. Dan sejak dulu tidak pernah di bangun rumah disini. Apakah adik berhalusinasi?"

Alga terdiam. Lamat-lamat ia berpikir. Otaknya kembali mengais pada kejadian tadi malam. Waktu bagai berjalan mundur. Hari berganti bagai suasana yang tidak pernah terkira sebelumnya. Ruas-ruas tempat. Lika-liku jalanan. Mobil-mobil butut. Gaya pakaian yang aneh. Tatanan rambut tanpa gaya. Aksen bahasa Bapak Petani yang baku. Ini bukan rumah gue.

"Ternyata benar!" gumam Alga yang tak sengaja terdengar oleh Bapak Petani.

"Benar apanya, Dik?" tanya Bapak Petani.

"Saya berada di tahun 1989!"

"Loh... Ini kan memang tahun 1989, Dik!" ujar Bapak Petani. Ia geleng-geleng menghadapi kekonyolan Alga.

"Ini beneran 1989, Pak? Berarti saya berhasil dateng ke tahun ini! Mesin itu berhasil membawa saya kesini!" Alga girang bukan main. "Papa emang hebat!"

"Papamu siapa? Mari Bapak antar ke rumahmu. Rumahmu dimana?"

"Bapak pasti gak tahu Papa saya itu siapa. Papa saya orang hebat! Dia bisa bikin mesin waktu yang berhasil membawa saya kesini. Ke tahun ini. Biar saya tebak, sekarang pasti tanggal 21 Juli 1989, kan, Pak?"

Bapak Petani itu menatap Alga dengan aneh. "Kau salah. Sekarang tanggal 22 Juli 1989"

"Itu pasti karena saya tiba disini pas udah pagi. Makanya sekarang udah tanggal 22 Juli aja. Padahal, saya berangkatnya tadi malam, lho, Pak. Dan saya berasal dari tahun 2016!"

KALA (FINISHED)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora