Bagian Satu

7.1K 999 67
                                    

Rapat Mingguan

***



Jimin berlari secepat yang dia bisa. Dia menabrak banyak orang tapi dia tidak peduli. Dia terus berlari tanpa peduli ke mana langkahnya pergi. Dia hanya mau menjauh. 

"Ma-maaf! Maaf!" Dia menyesal menabrak mereka, tapi tubuhnya seperti bergerak sendiri. Dia tidak punya kendali atas itu.

Dia terus berlari sampai akhirnya napasnya hampir habis. Dia berhenti berlari saat dia sampai di sebuah halte bus yang dia tidak tahu di mana.

Oh Tuhan! Di mana dia sekarang? Dia menatap ke sekelilingnya sambil mencoba mengatur napasnya. Apa yang baru saja terjadi? Pria tadi... pria tadi menciumnya. Ciuman pertamanya.

Tidak sopan sekali.

"Ibu..." Jimin menyentuh bibirnya dengan takut. Dia selalu mengimpikan memiliki pengalaman pertamanya dengan orang yang dia suka dengan suasana romantis. Sekarang, semuanya runtuh di depan matanya.

Jimin benci klub malam. Jimin tidak akan pernah kembali ke klub malam lagi. Tadi kalau Jimin tidak menendang tulang kering pria itu, mungkin Jimin sudah...

"Tidak. Tidak. Tidak!" Jimin berteriak kecil. Dia tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Tidak.

Pria tadi sudah merusak Jumat keberuntungan Jimin. Dia harus berterimakasih pada dirinya sendiri karena dia memberanikan diri menendang tulang kering pria itu tadi, kalau tidak....

Jimin menggeleng lagi.

"Lupakan." Jimin mengelus dadanya yang masih bergetar. Dia tidak bohong. Tadi, seluruh tubuhnya gemetaran. Rasanya dia mati rasa. Kakinya menjadi lemas. Dia menjadi susah bernapas.

"Ah, ya ampun. Ponselnya." Jimin cemberut.

Usahanya untuk mengembalikan ponsel itu jadi sia-sia karena pria itu. Jimin tidak mungkin kembali lagi ke tempat itu jadi, rasanya dia hanya bisa berdoa agar seseorang yang baik hati menemukan ponsel itu dan mengembalikannya pada si pemilik ponsel. Semoga saja.

Setelah dia bisa bernapas dengan normal, sekali lagi dia menatap ke sekelilingnya dan cemberut. Dia tidak tahu dia ada di mana sekarang. Dia hanya bisa berharap sekarang belum jam dua belas malam, karena kalau sudah jam dua belas malam, tidak akan ada lagi bus yang datang. Kalau dia bisa naik bus terakhir, mungkin dia akan baik-baik saja. Uh, tiba-tiba dia berharap dia punya sedikit uang untuk membeli sebuah jam tangan.

Dia duduk diam di halte bus itu sampai sekitar lima belas menit. Dua menit setelah dia hampir hilang harapan sampai sebuah bus datang. Dia hampir menangis saat dia naik ke bus itu. Dia langsung bertanya bagaimana cara ke Gwanak kepada supir bus itu. Untungnya supir busnya ramah.

"Selamat malam--Gwanak? Uh-bagaimana?" Jimin bahkan tidak bisa bertanya tanpa gemetar. Mungkin karena dia terlalu takut. Entahlah. Dia hanya mau segera sampai ke rumahnya.

"Gwanak? Silakan duduk. Kita masih di Gangnam." Supir bus itu menjawab. 

Jimin menghela napas lega saat tahu dia masih berada di sekitar Gangnam. Bahkan saat dia memperhatikan papan jalan, dia tahu dia masih ada di Cheondam. Mungkin karena terlalu lelah dan kaget, jadi dia tidak ingat jalan pulang.

Untung saja besok Sabtu, Jimin tidak perlu datang ke perusahaan. Setiap Sabtu dia akan bekerja di taman bermain dan kafe. Dia akan membersihkan sampah di taman bermain dari pagi sampai sore dan bekerja sebagai pelayan di kafe sampai malam.

Breakable (YoonMin)Where stories live. Discover now