#32

139 26 1
                                    

Author

Bunyi dari alat pendeteksi detak jantung terdengar dengan irama lambat dan beraturan. Sepasang suami istri sedang menguatkan diri satu sama lain dengan air mata yang terus mengalir. Dan di ujung ruangan sana, seorang pria tengah memijit pelipisnya serta menangis dalam diam. Ini adalah kegiatan keluarga Payne hari ini, ketika tubuh Evelyn tiba-tiba saja mengejang dan tak lama kemudian kembali terdiam dengan suara aneh dari pendeteksi detak jantung yang melemah.

Kondisinya kembali kritis setelah sebelumnya dinyatakan membaik oleh dokter yang menjaganya. Tak ada yang bisa dilakukan oleh keluarga Payne selain berdoa. Mereka sangat mengharapkan kesembuhan dari Evelyn.

Suara derap langkah kaki terdengar semakin jelas dari luar ruangan. Liam yang menyadarinya segera keluar dari ruangan rawat adiknya untuk bertemu orang yang baru saja ia telpon, sahabat adiknya.

"Liam, apa yang-" Belum sempat Jennifer menyelesaikan kalimat tanyanya, Liam langsung menghambur ke pelukannya.

"Eve kembali kritis." Ujar Liam dengan suara serak. Dia berusaha mati-matian untuk tetap terlihat tegar. Namun nyatanya ia tidak bisa. Melihat adiknya kembali memasuki masa kritis, membuatnya merasa kembali gagal menjadi seorang kakak. Gagal menjaga adiknya, dan tentu saja gagal terlihat 'keren' karena menangis.

Seakan mengerti, Jennifer membalas pelukan kakak dari sahabatnya ini dan mengusap punggungnya. Beberapa minggu ini, Liam selalu bercerita mengenai perkembangan Evelyn kepada Jennifer tiap kali Jennifer datang berkunjung. Hal itu membuat Jennifer tidak terkejut ketika Liam tiba-tiba memeluknya. Dia tahu, bahwa Liam butuh seseorang untuk menenangkannya. Menenangkannya dari pikiran negatif yang bersarang pada otaknya.

"Semua akan baik-baik saja. Eve akan terselamatkan." Bisik Jennifer guna berusaha menenangkan Liam.

Selang beberapa detik setelah Liam memeluk Jennifer, beberapa pria berseragam dinas datang menghampiri Liam.

"Selamat siang." Sapa seorang pria dengan tanda nama "Derek" di kemeja hitamnya. Liam hanya mengangguk dan berusaha untuk fokus.

"Kami menemukan ini. Tidak jauh dari lokasi kejadian." Ujar salah seorang pria paruh baya yang berkumis tipis.

"Bukankah itu hanya gantungan kunci?" Tanya Jennifer bingung.

"Iya. Mungkin terjatuh dari tas pelaku. Ini ditemukan beberapa meter dari tempat kejadian perkara menuju arah selatan. Bisa dibilang, dia langsung melarikan diri ke arah dimana orang-orang tak akan menyadarinya. Kebanyakan orang-orang akan berlari menuju tempat terbuka atau keramaian ketika mendengar bunyi ledakan meski hanya suara dari senapan. Tapi dia berlari ke arah sebaliknya. Apa kau mengenalinya nona? Atau mungkin anda tuan Payne?" Liam langsung mengambil tanda bukti yang di bawa pria dengan kemeja bertuliskan 'POLISI' pada bagian belakang kemejanya dan mulai mengingat dimana ia melihat gantungan kunci itu.

"Apa dia seorang perempuan? Bentuk gantungan kuncinya wortel. Terlihat lucu untuk dimiliki laki-laki. Pasti perempuan." Duga Jennifer. Liam masih terdiam dan detik selanjutnya, ia mencengkram gantungan kunci itu sekuat tenaga hingga buku-buku jarinya memutih tanpa peduli ujung dari gantungan kunci yang berbentuk daun dibagian atasnya itu akan menusuk kulit telapak tangannya.

"Keparat itu!"

Eve

"Bagaimana dengan keluargaku?"

"Lambat laun mereka akan menerima kepergianmu, Eve. Waktu akan menjawab semuanya."

Saat ini kami sedang berada di atap kampus. Setelah tadi mengembalikan tubuh yang kami pinjam, kami memutuskan untuk ke kampus. Ke tempat yang sangat jarang dikunjungi orang-orang.

"Kau tahu, Eve. Aku menyayangimu lebih dari mereka menyayangimu. Semua yang bernyawa akan mati. Dan yang sudah mati tidak akan mati lagi. Kita akan abadi, Eve." Evelyn sempat berpikir sejenak. Dalam hati ia membenarkan kalimat Niall. Tapi apakah ia cukup tega meninggalkan keluarganya? Membiarkan mereka berada dalam kesedihan atas kepergiannya?

"Apa aku masih punya waktu, Niall?"

"Untuk apa?"

"Aku masih ingin mencaritahu pelaku penembakku. Setidaknya jika aku memilih untuk pergi, aku ingin pergi dengan tenang tanpa ada pertanyaan apapun yang menggangguku." Niall hanya menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan.

"Baiklah. Aku akan menunggumu. Kau tahu, aku sudah menentukan pilihan sejak dulu untuk pergi, tapi setelah aku menemukan Emily. Namun yang terjadi saat ini, aku bertemu denganmu dan menyukaimu. Bahkan semenjak aku bertemu denganmu, aku tak lagi memikirkan Emily. Yang ku mau saat ini hanyalah kita. Aku dan kau. Abadi dalam dunia kita. Akan kulakukan apapun agar kau bisa bersamaku...." Niall memberi jeda pada kalimatnya, "Maksudku, aku akan terus menunggumu sampai kau siap." Ujarnya kaku. Aku hanya menganggukkan kepala sebagai respon.

Suara sirine mobil polisi dari luar gerbang kampus menyita perhatianku dan Niall. Ada kasus apa di kampus ini hingga 3 buah mobil polisi sampai mendatangani kampus ini?

"Kau mau melihatnya?" Tawar Niall. Aku yang awalnya tak acuh dengan apa yang terjadi akhirnya menganggukan kepala tanda setuju dengan tawaran Niall. Mungkin dia penasaran dengan apa yang terjadi, dan kurasa tidak ada salahnya menemani Niall melihat sedikit drama penangkapan atau apapun itu.

"Hey, bukankah itu kakakmu?" Niall menunjuk pada seorang pria yang tengah terburu dengan emosi di wajahnya. Dia benar. Itu Liam. Sedang apa dia di sini bersama polisi-polisi itu?

"Kurasa kakakmu menemukan pelakunya." Ucapan Niall berhasil membuatku terkejut.

"Benarkah?!" Tanyaku dengan suara kencang. Suaraku tak akan bermasalah dengan orang disekitar karena mereka tidak bisa melihatku.

"Jangan terlalu dekat, lihat! Ada James dan temanmu disana." Ujar Niall seraya menunjukkan jarinya ke arah kembarannya dan Jennifer. Aku mengerti kenapa ia tak ingin terlihat di depan saudara kembarnya. Aku mengerti Niall membenci James karena ia merasa kebahagiaannya telah diambil paksa oleh James meski menurutku itu bukan sepenuhnya salah James.

Suara bisik-bisik dari beberapa orang di lorong kampus ini terdengar ramai. Kumpulan polisi beserta Liam terus menuju ke sebuah ruangan kelas yang aku sendiri lupa pernah melewatinya atau belum.

Kami, maksudku aku dan Niall, mengikuti langkah mereka dari jauh. Waspada apabila ada manusia-manusia indigo lain yang dapat melihat keberadaan kami.

Langkah kaki mereka terhenti di depan sebuah pintu bercat putih tertutup. Seperti sedang ada kelas di dalam sana. Beberapa ruangan di kampus ini kedap suara. Mungkin kelas itu salah satunya karena tidak menyadari bunyi sirine mobil polisi. Salah satu pria berseragam polisi mengetuk pintu itu hingga akhirnya terbuka dan seorang dosen dengan wajah bingungnya menyambut mereka.

Setelah berbincang sebentar, dosen itu akhirnya mengangguk dan membiarkan polisi itu masuk.

"Tuan Tomlinson, anda dijadikan tersangka pelaku penembakan nona Payne."

——^——
Tbc...

Be Mine (Sedang Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang