5 : Kagum :

56.8K 8.1K 330
                                    

5

: k a g u m :



Hari sudah malam ketika Kintan baru selesai rapat bersama anggota UKM Fotografi kampus.

Dia tengah berjalan pulang menuju indekosnya pukul 21.00. Jalanan masih belum sepi kendati waktu sudah larut. Mahasiswa kampus masih beraktivitas untuk acara-acara baik itu acara organisasi, akademik, maupun UKM. Perjalanan Kintan dari kampus ke indekosnya bisa ditempuh dengan lima belas menit jalan kaki. Dia sedang membuang sampah bekasnya minum saat melihat seorang lelaki duduk di salah satu bangku koridor.

Spontan, Kintan memelankan langkah. Matanya terpaku kepada lelaki nyaris botak di depannya yang sedang duduk. Jantungnya jadi berdegub lebih cepat, entah kenapa.

Pasca mendengar public speaking Mahesa Silalahi sebulan lalu, Kintan merasa ada sedikit perubahan pada hidupnya. Dia jadi lebih semangat menjalani hidup. Dan, dia juga lebih memerhatikan Mahesa. Telinganya selalu sensitif ketika mendengar sesuatu yang berhubungan dengan Mahesa, entah itu hanya mendengar fakultas atau jurusan yang menaungi lelaki itu disebut, atau sekadar ucapan 'botak' pun sudah membuatnya waswas. Ke mana pun pandangannya teredar, dalam hati, Kintan selalu mencari Mahesa di tiap sudut ruangan.

Kintan pun menarik napas. Dia bisa paham jika dirinya sangat mengagumi Mahesa. Tetapi, dia tidak mungkin naksir Mahesa, bukan? Maksudnya, Kintan bahkan belum kenal Mahesa lebih dalam, hanya tahu sekadarnya saja. Bagaimana mungkin Kintan bisa suka dengan seseorang yang tak dikenalnya?

Mata Kintan masih terpaku pada sosok Mahesa. Lelaki itu menyandarkan punggung di kepala bangku sembari memejamkan mata dan menengadah. Napasnya terlihat teratur, terlihat dari pergerakan di dadanya.

Kintan mengerjap. Dipandanginya garis-garis wajah Mahesa. Alis Mahesa tebal, mempertegas profil wajahnya. Bibirnya lebih sering membentuk sebuah garis dibanding membuatnya tersenyum. Dan ketika Kintan berjalan lebih dekat, wajah Mahesa yang biasanya menampilkan kesan keras itu kini lebih terlihat lelah.

Kintan pun melangkah dengan jarak agak menyingkir dari Mahesa, berusaha melangkah sepelan mungkin. Dia tidak ingin suara kakinya membangunkan lelaki itu.

Hanya saja, usahanya tak berhasil. Mata Mahesa terbuka saat Kintan sudah berada tepat di depan lelaki itu, membuatnya jadi hal pertama yang dilihat oleh Mahesa ketika Mahesa membuka mata. Lelaki itu mengerjap, sementara Kintan menahan napas saking gugupnya.

Alis Mahesa tertaut. Matanya menyipit. "Kintan?"

Otomatis, Kintan menggigit bagian dalam bibirnya. Jantungnya berdegub lebih liar. Dia ingin bicara, tetapi suaranya seperti ditahan sesuatu. Akhirnya, dia hanya manggut-manggut.

"Ah, ya," kini giliran Mahesa yang manggut-manggut. "Kau yang punya sepatu yang mirip dengan sepatuku."

Kintan tak berbicara. Dalam benaknya, dia sedang berperang batin antara harus berpamitan atau menunggu Mahesa mengatakan sesuatu lagi.

Mahesa berdiri, mencangklong ranselnya, lalu memandang Kintan. "Baru pulang kau, Kin?"

"Iya, Kak." Kintan menunduk, lalu mengalihkan pandangan. "Kak Mahesa juga baru mau pulang?"

"Enggak. Masih ada urusan aku di kampus," ujar Mahesa, disusul dengan uapan tak lama kemudian. Kedua tangannya diregangnkan. Matanya agak berair usai menguap. "Rumah kau di mana, Kin?" tanyanya dengan suara mengantuk.

Kintan menjawab sambil menunjuk arah jalan menuju indekosnya. Matanya pun kembali memandang Mahesa. Mata lelaki itu terlihat memerah, seperti sudah menahan kantuk cukup lama. Dan tadi katanya, masih ada urusan di kampus jam sembilan malam? "Kakak mau ngapain lagi di kampus?"

"Biasalah," respons Mahesa tanpa keterangan lebih lanjut. Kintan sendiri tak bisa menebak 'biasalah'nya Mahesa itu mengarah pada kegiatan organisasi atau yang lain. Tetapi, Kintan tak ingin mengulik lebih lanjut. Dia tak ingin terkesan terlalu ikut campur. "Mau kuantar pulang, Kin?"

"Hah?" Kintan mendengak, mengernyitkan alis. "Tadi Kak Mahesa bilang apa?"

"Kau mau kuantar pulang?" ulang Mahesa sambil memandang Kintan, spontan membuat Kintan menahan napas. "Biar sekalian. Aku mau ke kontrakanku dulu sebelum ketemu anak-anak."

Kintan terdiam. Dia paham 'anak-anak' yang dimaksud itu pasti anak-anak sekelas atau teman-teman Mahesa. Tapi, sebentar dulu. Mau mengantarkannya pulang, kata Mahesa? Kintan pun bergidik. Apa kabar fans Mahesa nanti apabila tahu dirinya diantar pulang oleh Mahesa? "Eung... nggak usah, Kak. Terima kasih," tolak Kintan sesopan mungkin.

Mahesa mengangkat satu alis. "Yakin?" tanyanya dengan tenang. Tatapan matanya terlihat lebih tajam diterangi sinar lampu jalanan malam hari. Kintan pun menelan ludah. Ya ampun, ini orang radiasinya tinggi banget. "Tak apa kalau kau mau bareng."

"Eung...." Kintan melihat sekitarnya. Hanya ada satu-dua mahasiswa mengerjakan sesuatu lewat laptopnya. "Beneran nggak apa-apa, Kak?"

"Tak apa."

"Uh, oke.... Makasih ya, Kak." Kintan menunduk singkat.

Kintan dibonceng Mahesa naik motor menuju indekos gadis itu. Usai tiba di depan indekos Kintan, sang gadis turun dan berterima kasih kepada kakak tingkatnya. "Maaf ngerepotin ya, Kak."

"Bukan masalah," ujar Mahesa, membenarkan letak helmnya.

Kintan melirik pintu gerbang indekosnya, lalu menatap Mahesa. Sepanjang perjalanan, sebenarnya dia ingin bertanya sesuatu, tetapi diurungkan karena pertanyaannya agak serius dan suara kendaraan lain bisa membungkam suaranya sendiri. Akhirnya, Kintan pun memutuskan untuk bertanya sekarang. "Kak, boleh nanya sesuatu?"

Mahesa membuka kaca helmnya, lalu mengangguk. Dia menghadapkan tubuh ke arah Kintan untuk menyimak pertanyaan gadis itu.

Kintan menarik napas, berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertanya, "Kenapa Kak Mahesa—atau mungkin sebagian orang lain—mau capek-capek kerja untuk kepentingan orang banyak, yang bahkan belum tentu akan memedulikan betapa keras usaha kalian buat mereka?"

Dua detik, sebuah senyum lalu merambat di bibir Mahesa. Kekehan menyusul kemudian. "Kukira apa pertanyaannya." Mahesa terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. Dia lalu memandang Kintan. "Hal yang kamu sebut itu akan lumrah ditemui di masyarakat, Kintan. Memang tak ada perjuangan yang mudah. Berjuang itu masalah komitmen, masalah tanggung jawab. Saya merasa, saya punya mimpi besar untuk membuat dunia jadi lebih baik. Tapi, sebagai langkah-langkah awal saya untuk mewujudkan mimpi itu, saya tak mau muluk-muluk ingin menyejahterakan masyarakat. Biarlah dimulai dari hal kecil dulu, seperti ingin jadi bermanfaat bagi orang lain. Syukur-syukur apabila manfaat yang kita berikan bisa teraplikasi kepada mereka."

"Tapi, maksudku gini," sela Kintan. "Kenapa terus berjuang untuk orang-orang yang jelas-jelas nggak mau dibantu, gitu? Yang pikirannya sempit? Yang cuma mikirin diri sendiri tanpa mau membuka mata bahwa masih banyak orang lain yang hidupnya susah? Kan, malah capek di kita aja jadinya."

Terdiam, Mahesa memiringkan kepala sembari menatap Kintan. Satu sudut bibirnya terangkat. "Karena itulah hidup, Kintan," jawab Mahesa dengan tenang. "Hidup memang penuh ujian. Dan, Tuhan memang Mahakuasa, hingga kadang tanpa kita sadari, diam-diam Dia sedang memberi kita ujian lewat manusia-manusia lainnya. Dia hanya ingin menguji seberapa besar tekad kita untuk jadi manusia yang lebih baik."

Kali ini, Kintan-lah yang terdiam.

Mahesa mengangguk, pamit, lalu pergi dari sana. Dalam diam, Kintan memerhatikan lelaki itu berkendara menjaur dari indekosnya. Sejenak, Kintan dapat mengetahui rasa apa yang membuat dadanya berdebar tiap mendengar suara Mahesa atau sekadar melihat sosoknya.

Ya, kagum. Rasa kagum yang besar.

Rasa kagum yang suatu saat, akan berubah menjadi perasaan yang lebih di kemudian hari.

[ ].

Substansi | ✓Where stories live. Discover now