13 : Cinta :

38.7K 6.5K 252
                                    

13

: c i n t a :



Kintan butuh waktu untuk menyembuhkan patah hatinya.

Sebab, tak peduli apakah perasaannya terhadap Mahesa hanya sebatas kagum atau sudah taraf suka, Kintan pada akhirnya merasa sakit hati saat mengetahui Mahesa berpacaran dengan gadis lain yang levelnya jauh, jauh di atas Kintan. Kintan juga tak ingin sok-sok kuat di saat dia memang ingin menangis. Bagi Kintan, kalau mau menangis ya, menangis saja. Selama tidak menangis di depan umum demi mencari-cari perhatian, Kintan rasa sah-sah saja menangis untuk mengeluarkan emosi yang terpendam.

Selama berhari-hari, Novi masih belum juga bicara dengan Kintan. Padahal, Kintan ingin bercerita tentang patah hatinya. Namun, Kintan sadar bahwa dia melakukan kesalahan. Akhirnya, karena tak tahan berdiaman dengan Novi, Kintan pun mengikuti Novi ke kamar mandi saat selesai kuliah pagi di hari Sabtu.

"Nov, lo masih marah sama gue?" tanya Kintan saat Novi membuka meletakkan tasnya di atas meja keran. Suara Kintan pelan. Kepalanya sedikit tertunduk. Sengaja dia memanggil Novi bukan dengan nama panggilan kesayangan dari Kintan. Dia tak mau dianggap sok akrab saat mereka sedang slek seperti ini.

Novi menatapnya dari pantulan di kaca. Dia memejamkan mata dan mendesah. "Gue nggak marah, Kin. Gue cuma kecewa aja."

"Maaf, Nov...."

"Makanya pas waktu itu kan, gue bilangnya, sebaiknya lo renungkan dulu efek dari sikap rendah diri lo itu ke orang lain. Dunia ini kan, nggak cuma berputar untuk kehidupan lo aja."

"Iya...." Kintan melangkah maju, mendekati Novi. "Jadi, sekarang lo udah nggak marah sama gue?"

"Gue nggak marah." Kemudian, Novi meralat, "Kesal, sih. Tapi, nggak sampai mau marahan lama-lama. Gue cuma mau lo merenungkan sikap lo yang rendah diri itu aja. Jangan sampai nyakitin orang lain hanya karena sifat rendah diri itu."

Kintan mengangguk dan tersenyum. Dia berdiri tepat di sebelah Novi, masih menunggu Novi ketika Novi menata ulang riasannya.

Kintan memerhatikan pantulan kaca. Melihat sosok dirinya yang tinggi dan bongsor serta sosok Novi yang tinggi dan langsing. Seketika, Kintan pun teringat Irene. "Nop, gue mau cerita," ujar Kintan, berusaha mengenyahkan bayangannya terhadap Irene yang cantik, tetapi rasanya sulit sekali.

"Cerita aja, Kin," balas Novi sambil membedaki wajahnya.

"Kak Mahesa udah punya pacar," ujar Kintan, lantas mendesah. "Gue ngeliat dia sama ceweknya ngobrol. Ceweknya cantik banget, Nop. Parah. Tipe cewek cantik yang kalau lagi lewat, cowok-cowok nggak mungkin ngelewatin gitu aja."

Novi berhenti dari kegiatannya untuk menatap Kintan. "Tahu kabarnya dari mana?"

"Kakak tingkat gue di kos. Dia sekelas sama Kak Mahesa."

"Oh." Novi berhenti dari aktivitasnya, menatap Kintan dengan prihatin. Dia mendekati Kintan dan mengelus pundaknya. "I feel so sorry, Kin."

"Nggak apa-apa," ujar Kintan dengan senyum tipis. "Gue juga udah tahu akhirnya bakal kayak gini."

"Akhir apa? Siklus patah hati lo?"

"Iya." Merasa seisi dadanya bergejolak lagi, Kintan pun beringsut ke arah temannya. Dia memeluk Novi. Meletakkan kepala di lengkungan pundak temannya.

Rasanya sakit. Mau Kintan berusaha mengingkari atau berusaha kuat dengan berpikir bahwa masih banyak laki-laki di luar sana, bahwa hidup tak hanya diisi cinta-cintaan, tetap saja rasa sakit itu tak kunjung hilang. Sesak itu tetap ada tiap dia teringat Mahesa, apalagi saat melihat lelaki itu. Kintan pun memeluk Novi lebih erat. Matanya terpejam karena terasa panas. "Mahesa is so out of my league, Nopi. Mau gue berusaha gimana lagi? Dia udah punya pacar yang perfect. Ya kali gue ngerusak hubungan mereka."

Novi mengelus punggung Kintan, turut merasakan apa yang Kintan rasakan. Dia tidak tahu harus berkata apa kepada Kintan.

Kintan tidak menangis di sana. Dia dan Novi segera keluar dari kamar mandi, mencari tempat yang lebih aman untuk curhat. Dan koridor lantai lima gedung fakultas mereka yang berhadapan langsung dengan jalan raya pun dipilih sebagai lokasi. Lantai lima umumnya jarang ada orang, karena kebanyakan adalah ruang-ruang seperti ruang dosen, seminar, atau laboratorium. Mereka memilih duduk di bangku koridor laboratorium yang kosong.

Dengan saksama, Novi mendengarkan cerita Kintan tentang Mahesa pasca dia sudah tak berbicara lagi dengan temannya itu. Usai bercerita, Novi menepuk bahu Kintan dan berkata, "Dan menurut lo, sekarang lo mau ngapain?"

Kintan menunduk, menggeleng lemah. "Gue bener-bener nggak tahu harus ngapain. Berkali-kali gue mengalami siklus ini, tapi tetep aja gue bingung apa yang harus gue lakuin. Mungkin memang cuma waktu yang bisa menyembuhkan patah hati gue."

Novi menarik napas. "Saran gue, sih, lo jangan follow up kabar apa pun tentang Kak Mahesa untuk sementara. Kalau lo follow medsos dia, unfollow dulu aja. Buat kebaikan lo sendiri, Kin."

"Iya. Gue udah unfol kok. Buat sementara aja." Kini, Kintan-lah yang menarik napas. Pandangannya dilempar ke arah langit cerah yang menaungi kampus. "Nop. Gue jadi mikir deh. Kalau siklus ini keulang terus... buat apa, ya? Pada akhirnya kan, kita cuma dapat sakit hati. Trus, polanya sama pula. Gue naksir cowok hebat, cowok hebat itu naksir cewek yang perfect, mereka happy, sementara gue cuma dapat sakit hatinya aja. Dan itu udah... keulang mungkin sekitar tiga kali dalam hidup gue. Awalnya tuh gue mikir, dengan gue naksir cowok-cowok hebat, gue bisa kepacu untuk jadi manusia sehebat mereka juga. Cuma... ya akhirnya pasti begini." Kintan menunduk lesu, mendesah lelah. "It's the same heartbreak cycle all over again."

Novi menyandarkan tubuh ke dinding di belakang bangku. Ikut mengamati langit. "Pernah mikir kalau siklus itu kayak ujian nggak, sih?"

"Ujian?"

"Iya. Kayak, kalau lo masih dapat siklus patah hati yang sama, itu berarti lo belum lulus 'ujian' itu." Novi mengangkat bahu. "Tapi, yah, ini logika weirdo gue aja sih. Gue cuma mikir, mungkin emang siklus patah hatinya akan terus terulang, cuma 'tipe soal'nya beda-beda. Kalau lo masih dikasih 'tipe soal' yang sama dengan 'ujian' sebelumnya, berarti lo belum lulus ujian yang lalu."

Terdiam, Kintan berusaha mencerna dan memikirkan ucapan Novi.

Dan... apakah selama ini dia 'tidak lulus' dengan 'tipe soal' yang sama berulang kali?

"Menurut lo, Nop, kalau misal gue nggak lulus ujian trus dikasih tipe soal yang sama lagi, nih, gue sebenernya salahnya di mana?"

"Mungkin cara pandang lo." Novi lagi-lagi mengangkat bahu. "Ingat pas gue bilang, renungin efek dari sifat rendah diri lo? Itu juga karena gue udah pernah ngerasain, Kin. Semua orang pernah merasakan dirinya rendah dan sampah banget, berasa bukan apa-apa dibanding orang-orang lain. Apalagi kalau kita naksir orang yang lebih hebat dari kita. Rasa rendah diri itu bakal makin menjadi-jadi. Tapi, yang jadi masalah, gimana caranya biar kita lepas dari rasa rendah diri itu?"

Kintan melebarkan mata, memegang lengan Novi, terlihat lebih bersemangat. "Gimana caranya, Nop? Gimana biar gue nggak rendah diri lagi?"

Novi memandangi Kintan sambil tersenyum. "Love yourself," jawab Novi, membuat Kintan terperanjat. "Because, when I'm in your posistion, how could I expect people to love me back when I haven't love myself dearly?"

[ ].

Substansi | ✓Where stories live. Discover now