11 : Pengakuan :

38.9K 6.4K 236
                                    


11 

: p e n g a k u a n :



"Jadi, selama ini lo suka sama Kak Mahesa?"

Kintan mendesah setelah mendengar pertanyaan Novi itu. Dia membalas dengan manggut-manggut sambil menyeruput minumannya, lesu. Bersama Novi, Kintan kini berada di kantin Fateta yang didominasi warna merah. Kuliah jam satu dibatalkan hari ini, sehingga mereka memutuskan untuk makan siang di kantin yang agak jauh.

Novi menelan makanannya. "Kalau yang gue tangkap sih, kayaknya lo cuma kagum gitu sama Kak Mahesa, Kin," ujar Novi.

Kintan mengangkat bahu. "Apa pun itu, mau namanya kagum atau suka, yang jelas gue ngerasa nyesek sih ngeliat Kak Mahesa sama cewek lain."

"Gue juga nyesek kok, kalau lihat Zac Efron punya pacar baru." Novi mendesah pasrah sembari memangku dagu dengan pandangan menerawang.

Kintan mendecak. "Yeh, itu mah elonya aja yang ngarepnya nggak realistis."

"Nggak ada yang nggak mungkin."

"Terserah, Nop. terserah." Kintan mengibaskan tangan.

"Ya udah," ujar Novi. "Seperti yang gue bilang, nggak ada yang nggak mungkin. Lagian, kan, belum tentu Kak Mahesa pacaran sama cewek itu."

Pandangan mata Kintan terlihat meredup. Dia terdiam sebelum menjawab, "Kalaupun nggak pacaran, tetap aja, sih. Kak Mahesa susah buat gue 'gapai'."

Novi mengangkat alis. "Emangnya lo udah nyoba ngegapai dia? Kok, bisa langsung bilang susah?"

Terdiam lagi, Kintan pun mengerutkan alis. "Gue udah nyoba dan kerasa banget tahu, Nop. Dia tuh... levelnya jauh di atas gue. Gue juga sadar diri, kali. Masa iya, cewek yang biasa aja kayak gue mengharapkan orang sehebat Mahesa? Emangnya, gue nggak ngaca, apa?"

Novi garuk-garuk kepala. "Ya... kalau lo merasa kayak gitu, lo udah nyoba buat bikin diri lo setara sama Kak Mahesa belum?"

Kintan menunduk. Entah mengapa, ucapan Novi menancap di benaknya. Terasa ada yang tersentil di sudut hatinya. "Gue udah berusaha, tapi... berasa banget kalau keberhasilan gue bukan apa-apa dibanding keberhasilan Kak Mahesa."

"Ya kan, beda masa, Kin." Novi mendesah. "Jangan membanding-bandingkan keberhasilan lo yang baru dimulai dengan keberhasilan orang lain yang udah ngambil start dari lama."

Kintan terdiam lagi. Iya, Novi memang benar. Tetapi, rasanya tetap saja sulit untuk menggapai Mahesa. Kalaupun memang sudah 'setara', apakah sudah pasti Mahesa akan membalas perasaannya?

Jelas belum tentu.

"Tapi... tetap aja rasanya Kak Mahesa tetap berada di level yang nggak bisa gue jangkau, Nop," ujar Kintan.

"Ah, itu mah karena lo lagi naksir dia dan merasa rendah diri aja," balas Novi, santai. "Kalau lo temenan sama Kak Mahesa, pasti lo nggak berpikir kayak gitu."

"Kenapa?"

"Karena kalau kita udah dekat sama orang, kita bakal tahu kekurangan orang itu yang membuat kita berpikir mereka itu juga manusia, terlepas dari segala kelebihan mereka."

"Trus, menurut lo, sekarang gue harus gimana?"

"Tergantung." Novi menyilangkan tangannya. "Lo mau pacaran sama Kak Mahesa? Atau, apa lo cuma mau dapat pengakuan Kak Mahesa atasi keberhasilan-keberhasilan lo?"

Kintan termangu. Berpikir. Novi benar. Sebenarnya, apa yang dia butuhkan? Memang benar, Kintan menyukai Mahesa. Namun, lantas kenapa? Apakah karena suka, sudah pasti dia ingin menjadi pacar Mahesa?

"Nggak harus jadi pacar Kak Mahesa, sih...." Kintan memandangi tangannya di atas meja. "Mau dekat aja...."

"Dekat dalam arti jadi sahabat gitu?" tanya Novi. "Ntar malah di-friendzone loh."

"Duh, tauk ah, gue bingung," keluh Kintan. Dia menelungkupkan tangan di atas meja dan meletakkan kepala di balik tangannya. Dia lalu mendengak ke arah Novi. "Gue ngarepin Kak Mahesa. Tapi, emangnya gue udah selevel apa sama dia? Gue cuma ngerasa nggak pantes bersanding sama Kak Mahesa, Nop. He's so unreachable. Gue berasa cuma sampah dibanding Kak Mahesa. Gue tuh cuma upil, Nop. Bukan apa-apa. Dibanding temen-temen gue aja, nilai gue jelek banget. Berasa kayak sampah, Nop. Gue frustasi."

"Nilai sampah?" ulang Novi dengan alis mengernyit, terlihat heran. "Nilai-nilai tugas, ujian, dan laporan lo kebanyakan dapat 8, kan?"

Pelan, Kintan mengangguk. "Tapi, tetep aja kalah kalau dibandingkan anak-anak lain di kampus kita. Serius deh, nilai 8 tuh kayak bukan apa-apa."

"Lo sering dapat 8 dan lo menganggap nilai lo sampah?" lanjut Novi, tak menggubris ujaran Kintan. "Trus, lo anggap orang kayak gue yang cuma dapat nilai 7 aja udah syukur itu apa? Kotoran hewan?" lanjut Novi, tak terima.

Kintan menegapkan tubuh, membuka mulut. "B-bukan gitu, Nop...."

"Gue paham semua orang punya masa-masa di mana merasa rendah diri kayak yang lo alami sekarang. Tapi, ya nggak usah berlebihan kayak gitu. Semua orang punya tipe kecerdasan masing-masing yang menonjol. Apa yang lo omongin itu secara nggak langsung bikin anggapan kalau orang-orang yang nilainya kurang dari 8 itu lebih hina dari sampah. Padahal, nilai akademik yang kurang itu belum tentu karena anaknya bego, tapi emang karena tipe kecerdasan mereka yang menonjol itu bisa jadi beda dari elo."

"Nop...."

"Percuma anjir lo tuh dinasihati kalau masih kayak gini," ujar Novi, terlihat agak tersinggung. "Lo aja yang rendah diri, Kin. Coba bayangin kalau lo ngomong yang kayak tadi di depan orang-orang yang mungkin daya tangkapnya kurang dan emang udah berusaha keras buat belajar, tapi usaha mereka selama ini cuma dapat nilai 5. Orang-orang kayak gitu secara nggak langsung juga lo anggap lebih hina dari sampah?"

"Nopi, maaf... nggak bermaksud...."

"Renungin aja ucapan dan sifat rendah diri lo itu," ujar Novi, lalu berdiri. "Lain kali jangan sampai ada orang lain yang ngerasa down hanya karena sifat rendah diri lo itu."

Kintan hendak meraih tangan Novi, tetapi dia urungkan. Dengan keadaan Novi sekarang, Kintan tak yakin Novi ingin berbicara dengannya. Ini bukan kali pertama mereka slek. Tetapi, mengingat ucapan Novi, Kintan pun sadar bahwa dia memang salah.

Dan Kintan masih belum tahu bagaimana mengatasi sifat rendah dirinya itu.

[ ].


Substansi | ✓Where stories live. Discover now