Koma

92 4 1
                                    



Aku menghindar dan pergi ke sudut, sudut yang paling bagus dan gelap dari segalanya. kugenggam segelas teh yang tadinya hangat telah menjadi dingin bersama embun setelah hujan. Kulepas kemeja kotak kotak yang menjadi dresscode hari ini dan kulingkari di pinggang. Kutaruh lengan kananku ke saku sampai kulupa dimana kumenaruh kontak motor. Lalu kuberhenti sejenak. Mendengar keseruan, Melihat lontaran petasan, Meraba kegembiraan, Menghirup bau tanah usai hujan, Mengecap manisnya perjalanan.

Seperti Koma,

Ya, Banyak sekali Koma

Dan di ujung sini, aku mencoba selalu akan mengerti segalanya –
tentang pengorbanan
tentang kebencian

Yang selalu kutangguhkan walau membosankan
Tentang bahagia dan kesedihan
yang menyelubungi kita
selamanya.

Kita suka bertanya dan merenungkan jawabnya. Bahkan untuk hal-hal yang kupikir tak ada gunanya.

Di halaman gedung dua, di kanopi basah kena hujan, di hall lantai dua, , di perpustakaan pusat langganan, kita akan bertanya,.

Di tempat yang sama kita akan ragu dan menggumam, terkadang menunduk lalu melamun- oh, atau mungkin membuka lembar lama, yang tadinya banyak kusam, banyak drama, banyak pula sendu serta juga luka; ya, banyak warna, kita akan tertawa kecil sendirinya; dan menjadi lumrah maklum-seperti orang gila saja. Lalu menutup, dan terkadang membuka kembali. Banyak sekali jeda, banyak sekali koma.

Ya, banyak sekali koma

Tak ada yang berubah di sini. Dua kosong dua yang berdebu karena kapur, walaupun sudah dihusap dengan tisu basah mitu. Ya, walau sudah hilang, warna kapur menghablur dengan sendirinya, debu tadi menjadi abu bersama wangi tisu basah tadi, kenangan tetap berada di situ, tidak berpindah sejengkal pun, enggan untuk pergi. Cicak yang sering buang hajat sembarangan dan tokek yang berbunyi ganjil genap. Tiang – tiang, jendela, langit – langit, dan lampu kuning redup kanopi menjadi saksi bisu dalam perjalanan hebat ini. Mereka berbisik dan menertawai kita, sekaligus membuat kita malu tentang keadaan.

Tiba – tiba, hujan turun dan merembes lewat celah pinggir langit kanopi yang berlubang, menggambar komposisi cluster acak di lantai kanopi. Lalu angin mengisik. Bau tanah mengambang samar di udara, bercampur dengan bau tak sedap bungkusan nasi telur dan tumpahan air hujan tadi,  yang disengaja oleh alam untuk menyamarkannya. Tak ada musik. Hanya ada saksofon, gamelan, dan lantunan karawitan dari tetangga sebelah, dan angin yang sekali-sekali mendenting.

Krisis hati memang masalah yang klasik. Sialnya, kita pun terusik. Kita masih enggan untuk rendah hati, terkadang jua pamrih. Kita hanya bisa berhenti sejenak, seperti tanda baca koma. Ya, banyak sekali koma



Tapi jika kita terus menerus peduli, bak majas maupun tidak,

Aku seratus satu persen yakin

suatu saat

kita akan bisa untuk terus bersahutan,

"Ya, Keadaan akan berpihak pada yang sadar"

Di suatu hari yang tak kutahu, entah kapan dimasa depan, kita akan menulis ulang

Saling memasang puzzle yang hilang, dan menyatukannya kembali

Seperti biasa, aku pergi gesa tanpa pamit

Bukan karena ku enggan menikmati

Tetapi Karena kuyakin

Ini belum berakhir

Kita hanya berhenti istirahat sejenak

,,,

Seperti tanda koma

Ya,

Banyak sekali koma
















Note :

Ini buat jongshixun yang nanya di Kita dan Koma.

Untaian KataKde žijí příběhy. Začni objevovat