DALVIN

110K 6.5K 23
                                    

Yang ku lakukan sejauh ini adalah diam termenung sambil memegang botol sampanye ku yang kedua, memikirkan apa yang aku lakukan hari ini telah melampaui batas hingga membuatnya marah dan menamparku.

Aku tidak bisa mengendalikan rasa keingintahuanku disaat dia benar-benar mengujiku, pun aku juga tidak bisa mengendalikan amarahku ketika dia sudah berubah menjadi gadis yang menjengkelkan dan naïf.

Dia berbeda.

Dia terlalu berbeda dari gadis manapun, Claire terlalu berani untuk membalas semua ucapanku disaat lebih dari jutaan orang takut untuk membalas ucapanku dengan nada yang tidak sopan.

Dia memang gadis yang memiliki mulut yang menyebalkan, terlalu berani dan sok perfeksionis. Tapi dibalik itu, aku tahu dia adalah gadis yang pendiam, hanya saja dia selalu ingin menunjukkan sisi beraninya pada semua orang agar semua orang tahu dia adalah gadis yang hebat.

Aku meneguk kembali sampanye ku hingga tadas. Kemudian beranjak dari dudukku, bermaksud untuk menemui Claire dan mungkin aku akan meminta maaf padanya.

"Claire." Aku mendorong pintu bercat putih ini dan masuk kedalam kamarnya, dia sedang duduk dengan pandangan kosong.

"Kau baik-baik saja?" Tanyaku, mencoba menyadarkannya.

"Pergi." Satu kata singkat mendarat dari bibirnya, dia tidak menoleh kearahku, pandangannya terus tertuju kebawah menatapi karpet rasfur berwarna putih.

"Aku minta maaf." Kataku, jujur aku mencoba untuk mengulang-ulang kata itu didalam hatiku, karena aku tidak terbiasa mengatakan maaf. Ini benar-benar berat untukku.

"Maafkan aku jika aku menanyakan sesuatu yang bukan urusanku, tapi aku penasaran dengan apa yang kau pikirkan hingga membuatmu sakit. Dan Scoth. Siapa dia?" Tanyaku, berhati-hati dan dengan begitu cepat dia menoleh kearahku.

"Dia menanyakan keberadaanmu." Lanjutku lagi.

Sempat dia membuka mulutnya, tapi dia tidak berniat untuk menjawabku dengan memilih untuk mengatupkan bibirnya kembali.

Diam-diam aku sedang menahan diri untuk tidak memarahinya yang terus mendiamiku, tapi dengan aku marah pun, semuanya akan menjadi lebih rumit. Dia tidak akan pernah terbuka padaku jika aku terus melakukan hal yang tidak dia sukai.

"Claire Anderson. Aku berbicara padamu." Kataku lagi, untuk kesekian kalinya.

"Pergi dari kamarku."

Aku tidak menggubris ucapannya dan memilih untuk duduk diatas sofa. Jika dia keras kepala, maka aku juga bisa menjadi pria yang lebih keras kepala. Jangan pikir aku akan menuruti setiap permintaannya. Kali ini tidak lagi, dia terlalu memuji kesabaranku.

Dia terus menatapiku dengan pandangan tidak sukanya, pun aku juga melakukan hal yang sama.

"Aku benci dengan orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain." Katanya, dia mengalihkan pandangannya dariku kearah lain.

Aku tahu jika aku memang berlebihan untuk menyikapinya, tapi naluri dalam diriku selalu ingin tahu mengenai apapun tentangnya. Seolah Claire adalah satu-satunya gadis yang terbaik dibalik sikap keras kepalanya, hingga diriku selalu ingin melindunginya dan bersamanya.

"Apa aku harus mencari tahu semuanya sendiri?" Tanyaku, setelah sekian lama terdiam menatapinya.

Dia hanya diam, pandangannya teralihkan kearahku kembali. "Silahkan." Katanya. Kemudian dia beranjak dari duduknya dan meninggalkanku untuk keluar dari kamarnya.

Pun, aku langsung menghembuskan nafas beratku dengan menaruh kedua tanganku kebelakang sambil memejamkan mata, hingga aku merasa frustasi sendiri karena penasaran dengan apa yang ia sembunyikan dariku maupun dari orang lain.

I'm Yours Mr.NelsonWhere stories live. Discover now