Bagian 2

23.4K 684 10
                                    

Setelah tiga hari menjalani rangkaian kegiatan MOS yang cukup melelahkan, sekarang aku sudah resmi menjadi siswi SMA. Aku berharap, semoga masa SMA-ku indah dan penuh warna, serta mampu membuatku sulit melupakan setiap kepingan kenangannya.

Sekarang aku berada di koridor. Di setiap sisi koridor terdapat papan-papan informasi atau mading yang memuat pengumuman-pengumuman penting. Di sini, semua siswa tahun ajaran baru berkerumun untuk melihat di kelas mana mereka ditempatkan, begitu juga denganku. Aku menerobos untuk mencari namaku.

Dapat! Namaku tertera pada kolom X IPS 1. Maka, dengan segera aku menuju kelasku yang katanya terletak di samping tangga lantai dua.

Sesampainya di depan pintu kelas, kulihat sudah ada beberapa siswa yang sibuk memilih kursi masing-masing. Aku pun melangkah masuk dengan sedikit gugup. Kuedarkan pandangan, mencari kursi yang masih kosong, dan tatapanku tertuju pada Risma. Ya, aku masih mengingatnya. Kami pernah berkenalan saat MOS.

"Di sini kosong?" tanyaku menunjuk kursi di sebelahnya.

"Iya, kosong. Duduk aja." Risma tersenyum ramah.

Setelah aku duduk, tak ada dari kami yang memulai percakapan. Risma sibuk dengan ponselnya, sedangkan aku memilih memperhatikan riuh dari para siswa yang berkenalan satu sama lain.

Sebenarnya aku kurang nyaman dengan tempat dudukku yang sangat tidak strategis. Paling depan, sejajar dengan papan tulis. Namun, mau bagaimana lagi, aku terlalu canggung untuk berkenalan dengan siswa lain, sehingga harus siap mental kalau nanti bakal jadi sasaran guru jika ketahuan mengobrol atau mengantuk.

"Assalamualaikum," sapa seorang pria berjenggot.

"Waalaikumsalam," jawab kami serempak.

"Panggil saja Bapak, Pak Erik. Bapak akan menjadi wali kelas kalian selama setahun ini. Jadi, kalian jangan coba-coba bolos atau alpa sebanyak tiga kali, kalau tidak mau nilai Matematika kalian merah. Mengerti?" Pak Erik berkata tegas.

"MENGERTI PAK...."

"Bolos nggak bolos juga nilai Matematika gue, mah, pasti merah, dah," celetuk seseorang dari pojok.

"Apa?" Pak Erik hendak menghampiri anak laki-laki yang duduk di pojok itu.

"Haha. Enggak, Pak. Itu, tadi lipstik tetangga saya merah banget."

Mendengar jawaban laki-laki itu, sontak gelak tawa di kelas kami membahana, sedangkan Pak Erik hanya geleng-geleng kepala.

***

Bel istirahat berbunyi. Beberapa siswa berhamburan ke luar kelas, menyisakan aku, Risma, serta dua teman baruku, Hana dan Sarah—yang duduk di bangku belakang kami.

Hana menepuk pundakku. "Ke kantin, yuk, Tar?"

"Enggak, deh, nggak laper," tolakku.

"Oh, ya udah. Ris, lo mau ke kantin bareng gue dan Sarah, nggak?"

"Ayo!" Risma tersenyum semringah.

Mereka pun pergi ke kantin, menyisakan aku yang bingung harus melakukan apa untuk melawan rasa bosan. Di kelasku hanya ada sepuluh murid perempuan dan dua puluh murid laki-laki. Dan aku hanya akrab dengan mereka bertiga. Bisa dibilang aku sedikit kurang humble dengan orang baru, tapi... ya, hari demi hari aku pasti bisa akrab dengan yang lainnya.

Akhirnya, setelah merenungkan apa yang harus kulakukan, aku menyumpal telinga dengan earphone untuk membunuh rasa bosan yang menyeruak. Kuikuti alunan musik akustik dengan bernyanyi pelan. Entah kenapa aku senyum-senyum sendiri ketika playlist musik menyuguhkan lagu idolaku, Zayn Malik. Namun, setelah musik berganti, aku baru sadar kalau sejak tadi ada yang memperhatikanku.

Ya ampun, betapa malunya aku. Kurutuki diri sendiri karena telah bersikap konyol. Apalagi di depan laki-laki—yang memperhatikanku—yang wajahnya bisa dibilang di atas rata-rata, di kelasku tentunya.

***

Truth or DareWhere stories live. Discover now