Bagian 9

9.8K 429 6
                                    

Kak Aldo menepikan motornya di depan kafe tempat biasa kami bertemu. Aku segera turun dari motornya. Saat hendak masuk ke kafe, Kak Aldo memanggilku. Dengan cepat aku menoleh.

"Itu... helmnya," ucap Kak Aldo sambil tertawa kecil.

Aku meraba kepalaku. Astaga!

"Hehe. Ini, Kak." Aku menyerahkan helm padanya, sedangkan Kak Aldo hanya geleng-geleng kepala melihatku.

"Ayo, Kak, keburu rame, nanti nggak kebagian kursi kosong!" ucapku penuh semangat, lalu berjalan cepat meninggalkan Kak Aldo.

Aku mengedarkan pandangan, mencari tempat kosong. Dan... ketemu. Di pojok dekat jendela yang menghadap langsung ke jalan raya. Aku langsung ke sana dan duduk, begitu juga Kak Aldo yang mengambil tempat di hadapanku.

"Mau pesen apa?" tanyanya.

"Kakak mau traktir aku?"

"Berhubung ekspresi kamu udah sebahagia ini, apa boleh buat?" Kak Aldo mengedikkan bahu sambil tersenyum.

"Beneran?! Waaahh, Kak Aldo emang terbaik!"

"Boboiboy kali, ah." Kak Aldo terkekeh, sementara aku hanya tersenyum lebar.

Tak lama, pelayan datang menawarkan akan memesan apa. Aku langsung memesan, membuat Kak Aldo menggelengkan kepala.

"Nggak pa-pa 'kan, Kak? Kapan lagi coba aku ditraktir sama Kak Aldo. Iya, 'kan?"

"Iya, santai aja. Makan yang banyak, biar cepet gendut," jawabnya yang masih terkekeh.

Akhir-akhir ini Kak Aldo memang sering tertawa, ya? Tak apa. Yang penting aku senang. Apalagi yang membuatnya tertawa sekarang adalah aku.

"Biar gendut, tapi tetep cantik 'kan, Kak?" Aku mengedipkan mata kananku pada Kak Aldo.

"Kamu tuh nggak cantik." Aku cemberut mendengar kalimat Kak Aldo barusan. "Tapi kamu tuh gemesin tahuu." Kak Aldo mengunyel-ngunyel kedua pipiku, gemas.

"Iwh, Kak Awdo, wepwaswin!" rengekku.

"Apa? Ngomong yang jelas. Siapa suruh kamu imut, jadi pengen dibawa pulang, deh."

***

"Aduuhh, kenyangnya." Aku duduk bersandar di kursi. "Makasih ya, Kak."

Kak Aldo mengangguk. "Sama-sama."

"Oh iya, tadi pagi katanya mau ada yang diobrolin. Ngobrol soal apa, Kak?" tanyaku yang baru ingat tujuan kami kemari.

"Oh itu. Enggak, kok, Kakak cuma mau ngobrol biasa aja sama kamu."

"Pacar Kakak nggak bakal marah emang?"

"Pacar?" Kak Aldo malah balik bertanya.

"Iya. Cewek yang tadi pagi bareng sama Kakak. Dia pacar Kakak, 'kan?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Kak Aldo malah tertawa terbahak-bahak.

"Si Elis maksud kamu? Mana ada dia pacar Kakak. Dia itu sepupu Kakak."

"Tapi, Kakak pegangan tangan, tuh, sama dia kemarin, pas di kantin." Aku mengernyitkan kening.

"Kamu cemburu?"

Ya ampun. Saat ini wajahku pasti sangat merah. "Enggak, ih. Kenapa juga harus cemburu?" elakku setenang mungkin. Aku mengalihkan pandangan ke arah jalan raya, enggan untuk menatap Kak Aldo.

"Dia itu sepupu deket Kakak. Dari kecil kita dibesarin bareng di rumah Nenek, saking deketnya, dia juga sering curhat ke Kakak soal cowoknya, dan hal-hal nggak penting lainnya. Dan kemaren Kakak pegangan tangan sama dia, itu karena Kakak mau nenangin dia yang baru aja diputusin sama pacarnya. Kakak nggak tega liat dia nangis. Jelas?"

Truth or DareWhere stories live. Discover now