Aku jadi makin panik. Aku merasa sangat payah. Disaat seperti ini aku bahkan tidak bisa berbuat apa apa. Aku hanya menyelimuti anak itu dengan jaketku.

Max terlihat mengutak-atik 'jam' di tangannya.
Author: Sebenarnya itu bukan jam, tapi alat komunikasi yang bentuknya mirip jam.

"Ada apa?" tanyaku pada max.
"Tidak bisa dihubungi, sepertinya ada masalah sambungan." katanya setelah duduk di sebelah anak itu. "flyn pasti sedang berlari kembali kesana untuk memanggil mereka."

Saat itu aku baru sadar flyn tidak ada. Lalu aku melihat, jauh di kedalaman hutan. Penuh daun daun kering, ranting dan lainnya.

"Max, kau bawa korek api?"
Max terlihat berpikir sebentar, lalu meraba jaketnya dan membukanya.

Didalamnya banyak alat alat kecil. Sekarang aku tau kenapa dia selalu memakai jaket.

"Iya, aku bawa. Kenapa?"

Hmmm...

*****

"Ah.. Ini." kata Max sambil menaruh setumpuk kayu kering dan beberapa batu yang cukup besar yang dikumpulkannya dari dalam hutan.

"Terima kasih"
Sekejap kayu kayu itu berubah jadi api.
Kami menghangatkan diri disana. Tidak lama, anak itu bangun. Dia masih terlihat lemah.

Maaf ya, author gak tau pasti orang bangun pingsan itu kaya apa, bagaimana, dan mengapa. Jadi mohon di maklumi yo..

Saat anak itu mulai duduk, terdengar suara getaran. Tapi seperti ada suara mesin juga. Dan aku berpikir itu mereka.

"Itu mereka." kata Max datar. Terlihat juga dari kejauhan ada satu mobil bak terbuka mengarah kemari. Dan team kami berdiri di dalamnya bersama beberapa petugas kesehatan dan warga lokal.

Kami segera membawa anak itu ke rumah sakit terdekat. Selama perjalanan, anak itu hanya di tolong dengan sebotol teh hangat (yang kemanisan) dan selimut darurat.

Aku pikir itu akan lebih baik dari pada dengan jaketku saja.

Tapi masalahnya...
Daerah itu penuh dengan hutan di kiri kanan jalannya. Rasanya mustahil ada rumah sakit disini.

"Pak, kayanya di daerah sini gak ada rumah sakit pak" kata supir mobil itu pada flyn dan kami semua.

"Aku ingat ada satu Pusat kesehatan desa tetangga disana." kata salah satu warga "Kita bisa bawa dia kesana."

***

Ceklek..!

"Dokter!!" kata semua warga desa yang ada.
"Bagaimana?"

"Syukurlah, dia baik baik saja."
Terdengar helaan nafas lega para warga.
"Tapi dia masih dalam kondisi kritis, jadi tidak bisa diganggu. Saya permisi."

"Beruntung kita membawanya tepat waktu." kata salah seorang dari warga.

"Iya," kataku. "Kita sangat berunt.."
Tiba tiba sesuatu bergetar di saku celanaku. Hal yang membuat kalimatku tidak sempat selesai.

"Siapa ini?.." gumam ku, lalu aku melanjutkan. "Halo..?"

"Vlo, ini Max"

"Max? Bagaimana kau tau nomor-ku?"

"Ng..i..itu tidak penting, Flynn memintamu keparkiran menemui kami. Sekarang!"

"Siap, pak!"

***

Dalam mobil itu terdengar sangat berisik. Pembicaraan tentang apa yang barusaja terjadi itu,.. Memang sangat cocok untuk sekarang ini.

"Yeah, well.." Flynn coba bicara. "Tadi itu hebat 'kan?"

"Ya, tentu saja. Kita tadi memang keren."
Kata Viko yang duduk di kursi belakang bersama brian, lalu dilanjutkan kan Max.

"Itu misi pertama untuk mu Vlo, kau sangat keren saat me- reka ulang kejadian untuk temukan anak itu." Max duduk sampingku, deret kedua setelah kursi pengemudi.

"Terima kasih" jawabku.
"Vlo, jangan sampai kau terkena gombalan Max." tiba tiba Steve bicara di kursi depan.
"Gombalan??" tanyaku heran.

Lalu Brian memunculkan kepalanya ke depan melewati senderan kursi.
"Karena saat Max lagi mau PDKT, dia akan jadi sangat.."

Sekarang yang muncul jadi dua, bersama Viko.

".. Ka..caau...."

Dan ditambah siulan dari Steve.
Aku jadi berasa aneh. Biasanya aku yang nyomblangin orang, sekarang malah berbalik padaku.

"Eh.. Jangan bercanda!" tangan Max mendorong dua wajah yang nongol dari belakang.

Sambil berlalu, perjalanan pulang ini jadi lumayan asik juga.

"Max, kau lumayan juga saat blushing seperti itu". Kenapa Steve selalu jadi kompor?

" agh.. Ayolah.. Bisakah kita hentikan pembicaraan ini? Yang kalian lakukan itu termasuk pem-bully-an , ok?"

"Tidak jika korbannya adalah dirimu" -Brian

Yah, perjalanan pulang kami ke markas cukup menyenangkan. Meski aku tiba-tiba merasa rindu kampung halaman. Tempat teman temanku masih bersekolah, menggunakan seragam, dan merasakan hujan tugas di hari hari jenuh.

Sedangkan aku disini...
Yeah, memang aku senang, lulus lebih dulu lewat akselerasi. Dan sekarang aku bisa melanjutkan ke S1 di usiaku yang ke 14 nanti.

Tapi, tetap saja aku masih 13 tahun. Dan jiwa SMP masih berada dalam diriku. Bahkan aku menggunakan rok abu-abu hanya selama satu tahun.

Disisi lain, bukan hanya aku yang merasa seperti itu disini.
Yah, kurasa aku tidak berhak untuk membandingkan rasa sedihku dengan mereka.

Well, disini aku rasa kami senasib. Mungkin kalian berfikir menyenangkan seperti ini. Lulus SMA disaat anak yang lain bersiap susah payah menghadapi UN SMP.

Meskipun tidak buruk juga, tapi ini tidak semudah yang kalian bayangkan. Mungkin ini juga terjadi pada Max dan yang lainnya.

Aku baru disini, jadi aku tidak tahu banyak soal pribadi mereka. Tapi aku yakin, cepat atau lambat aku akan tau.

#.......#

Biasa SajaWhere stories live. Discover now