13.

1.6K 276 39
                                    

Bagi Mama, rencana terbesarnya tahun ini adalah gue menikah dengan pria yang diyakini Mama bisa melindungi gue, layaknya Papa dan Bara. Ketika mengingat saat-saat gue berdebat sampai dini hari beberapa hari yang lalu, Mama sudah kasih keputusan final bahwa gue tidak boleh jauh-jauh dari Genta.

Sebagai wanita yang terlalu banyak termakan kisah romantis di kdrama favorit, gue mengiyakan dengan pikiran membuat persetujuan tertentu nantinya dengan Genta. Gue sudah banyak pikiran. Karena semakin Mama menekan keinginannya, semakin gue merasa tidak nyaman berdekatan dengan Genta.

"Woy! Kesambet loh bengong mulu," Bara memporak-porandakan lamunan gue. Menatap kesal, gue mencibir.

"Suka banget sih lo ngagetin gue? Kalo gue punya penyakit jantung gimana?!"

Seketika raut wajah Bara menegang, dengan canggung dia meraih minuman gue dan menyesapnya tanpa permisi. Ini aneh, tidak biasanya Bara sang pengacau menjadi pendiam seperti ini dengan sekali gertakan.

"Maaf, Bang, kalo gue ngebentak lo," kata gue pada akhirnya karena nggak ada kata atau kalimat yang keluar dari labium Bara setelahnya.

Dia tersenyum lalu mengacak rambut yang berakhir noyor gue.

"Sok-sok-an minta maaf. Biasa juga lo menistakan gue," kata Bara. Nyolotin sih, tapi gue seneng akhirnya dia balik seperti Abang berkelakuan minus yang gue kenal.

"Omong-omong, tumben lo ke sini di saat gue nggak ngajakin. Ada apa?"

Gue menelan bakso sebelum bicara. "Gue minta rekomendasi drafter bagus dong. Buat jadi volunteer. Kantor gue mau ngadain acara tahunan, tapi drafter yang lain udah kebagian di wilayah kota."

Bara menatap gue heran. "Genta aja gimana? Dia kan drafter," jawab Bara santai sambil menatap gue.

"Hah?! Masa sih? Gue kira dia bukan drafter. Cengengesan gitu, agak teledor masa dia bisa jadi drafter?"

"Lo sotoy deh kadang-kadang," Bara noyor kepala gue lagi. "Makanya jangan menilai orang sembarangan."

Gue menghela napas sebal. Akhir-akhir ini Bara banyak berubah -kecuali kelakuan minusnya sih. Perubahan yang gue maksud adalah dia jadi lebih suka ngebagus-bagusin Genta dan menyuruh gue untuk mendekatkan diri kepada Genta.

"Ya maaf," kata gue. "Jadi, boleh nih Genta? Volunteer-nya agak lama loh, selama sebulanan. Soalnya dia harus gambar cepat, engineer di kantor gue suka ganas kalo dikejar deadline," lanjut gue lagi.

Bara tampak berpikir. Jarang-jarang dia serius kayak begini, karena biasanya dia selalu menganggap enteng sebuah permintaan.

"Gue bicarain dulu sama Genta, ya."

Gue semakin sumringah. "Oke deh, Bang." perasaan gue jadi lebih baik sekarang.

"Bicarain apa nih, Bang? Kok ada calon istri gue di sini?" kata Genta yang sudah bergabung dengan gue dan Bara.

Apa katanya tadi? Calon istri?

"Ciyeee, jadi udah saling membuka diri nih?" Bara menggoda gue dan Genta. Gue sih memutar bola malas, kalau si Genta cuma mesem-mesem aja.

"Gue sih udah, tapi nggak tahu deh kalau Hana," ujar Genta santai setelah memesan makanan.

Gue memilih untuk pura-pura nggak denger. Jujur aja, gue belum terlalu dekat sama Genta. Gue pikir, mencintai orang itu semudah mencintai oppa-oppa Korea di dalam drama. Kenyataannya nggak sama sekali. Gue susah membuka hati, terlebih gue tahu kalau Genta menyukai orang lain.

Ya, gue emang pantas dibilang stalker tingkat tinggi. Karena gue tahu tentang gadis bernama Airin itu dari jumlah like Genta pada keseluruhan foto di instagramnya. Dengan kata lain, hampir semua foto Airin di komen dan like sama dia.

"Kebiasaan kamu bengong sekarang?"

Gue tersadar dari lamunan gue, lalu hanya mendapati Genta yang udah pindah duduknya -berhadapan sama gue.

"Nggak, gue cuma kepikiran sama sesuatu aja kok," jawab gue seadanya. Genta senyum, kemudian dia menggenggam tangan kiri gue.

Apa-apaan sih dia ini?

"Besok-besok kalau kamu ke sini, kamu bilang dong sama aku. Kan aku bisa jemput." Gue mengernyitkan alis, ini Genta lagi kenapa sih?

Berubah dalam waktu sehari itu nggak mungkin banget kan?

Pertama, dia udah manggil aku-kamu-an.

Kedua, dia genggam tangan gue di keramaian kafetaria seperti ini.

Ketiga, semua itu terlihat aneh karena kita berdua memang tidak membicarakan lebih jauh masalah Mama kita yang memang ingin kami menikah. Kita lebih nyaman menyebut hubungan ini sebagai sebuah pertemanan.

"Genta?" Suara cewek ini sempet buat gue menoleh. Wajah putih dengan bibir mungil yang disapu liptint merah muda. Walaupun gue kesal mengakuinya, tapi dia cantik. Gue tahu kalau gadis ini adalah Airin.

"Eh Airin?" ucap Genta yang terlihat gugup, karena dia juga sempat mencengkram jari-jari gue secara tidak sadar. "Mau makan siang? Eh iya, kenalin. Ini calon istri gue."

Gue sempat menginjak kaki Genta, tapi dia sok tegar menahan rasa ngilu itu. Air muka Airin berubah seketika, wajahnya tidak seceria tadi. Gue semakin yakin, mereka berdua terlibat suatu hubungan yang sulit.

"Oh hai, aku Airin."

"Hana," kata gue menyambut uluran tangan dia. Genta sempat terdiam untuk melihat wajah Airin sebelum akhirnya gadis itu pergi dari kafetaria.

Gue lalu menghempaskan tangan Genta dengan tatapan kesal. Oke, entah kenapa dia semacam memanfaatkan gue untuk membuat Airin cemburu.

"Lo bener-bener ya, Ta," gue udah kesel banget sama Genta.

"Loh kenapa, Han?" Genta menatap gue bingung.

Gue memilih untuk tidak menjawab dan pergi dari kafetaria, meninggalkan Genta yang sama sekali nggak menanyakan lebih jauh sikap gue barusan.

~

MAMA MINTA MANTUDonde viven las historias. Descúbrelo ahora