24.

1.6K 241 15
                                    

Genta dan Sang Mama berada di kafetaria rumah sakit yang sedikit lengang sore itu. Kabar sahabatnya, Neni, yang masuk rumah sakit begitu tiba-tiba dan membuatnya khawatir. Sejak tadi, Yulia, mama Genta bahkan tidak menyentuh es jeruk yang telah dipesannya karena memikirkan calon besannya itu.

Genta paham bahwa Mamanya khawatir, untuk itu dia menggenggam tangan Mamanya dan berusaha menguatkan. Tatapan sang ibunda masih terlihat lesu meskipun seulas senyum dipaksakan terlihat.

"Mama jadi mikir gimana caranya pernikahan kamu dimajuin, Ta."

Genta hampir tersedak. Bagaimana bisa jalan pikir Mamanya dan Hana sangat serasi? Genta bahkan belum mengutarakan permintaan Hana itu karena suasana hati Mamanya tidak terlalu baik sejak tadi.

"Hana juga mau gitu, sih Ma," kata Genta sambil menghela napas. "Tapi, nggak semudah itu kan? Masalah gedung, catering, undangan dan lainnya sudah dipesan untuk bulan depan. Apa nggak bakalan berantakan kalau dipindahkan secara tiba-tiba?"

Mamanya Genta tampak sedikit setuju, karena setelahnya hanya menghela napas sambil menatap ke arah lain.

"Abis gimana dong? Mama... khawatir banget."

Genta paham perasaan itu, karena sebenarnya juga dia merasakan perasaan yang sama. Bukan mudah mengganti jadwal pernikahan, pun tidak sesulit yang dibayangkan. Genta hanya ingin yang terbaik untuk Hana yang telah menyusun semua dari awal.

"Kalo gitu," Mama menatap Genta. "Resepsi tetap bulan depan, ijab kabulnya minggu depan. Gimana, Ta?"

Genta tampak berpikir. Sebenarnya ini ide bagus, tapi dia juga harus berdiskusi dengan keluarga Hana.

"Ide bagus, Ma. Aku bicarain dulu ya sama Hana."

~

Hana masih terpekur di ruang rawat. Menatap Mamanya yang tidak mau menoleh sedikitpun kepada Hana. Mamanya masih menangis dan menyesal kenapa dia harus teledor tidak minum obat tepat waktu.

"Ma, nggak apa-apa. Hana nggak marah atau kesel sama Mama. Masa daritadi Hana didiemin?" Suara isak tangis yang tak bisa dibendung lagi akhirnya menggema. Mama akhirnya menoleh, menatap wajah putrinya yang pias dan basah.

Mamanya menghela air mata di wajah putri satu-satunya itu. "Jangan nangis, Sayang. Maafin Mama karena nyembunyiin semua ini dari kamu ya, Nak."

Hana membawa jemari Mama yang sedang berada di pipi untuk digenggam dan dicium dengan sayang. Melihat Mama bisa sadar dan ngobrol dengannya dirasa sangat cukup untuknya.

"Nggak ada yang salah, Ma. Pokoknya Mama jangan mikir hal lain selain kesehatan Mama. Aku... nggak mau ngeliat Mama kayak gini lagi," ujar Hana sambil tersedu.

"Nggak, Sayang. Mama janji ini yang terakhir kalinya."

Setelahnya Hana memeluk Mama dan mengecup dahi beliau dengan sangat sayang. Dia menghela air mata yang juga jatuh di wajah Mama.

"Jangan nangis ya, Ma. Hana nggak suka."

Mama tersenyum lalu menggenggam tangan Hana, "Iya, Sayang."

"Omong-omong," kata Mama Hana lagi. "Kemana menantu Mama?"

"Bukannya nyariin Abang, Mama malah nyariin Genta," gerutu Bara yang kebetulan baru masuk kamar rawat. Mama terkekeh setelahnya dan menyuruh Bara untuk mendekatinya.

"Jelek ih udah gede ngambek. Kan Mama udah ngeliat Abang pas pertama kali sadar. Yang belom liat cuma Genta aja nih, kemana dia?" kata Mama bersemangat. Topik mengenai Genta selalu membuat Mama jadi dua kali lebih semangat.

"Genta masih di bawah Ma, kan jam besuk masih lama. Dia lagi nemenin Mamanya dan nungguin Tante Yuni," kata Hana sambil tersenyum sementara Mama ber-oh ria.

Setengah jam kemudian setelah minum obat, pasien sudah boleh di besuk. Untuk itu kamar rawat Neni menjadi lebih ramai karena kedatangan kerabatnya yang tak lain Yulia dan sahabat karibnya—Yuni.

"Jeng, eyke deg-degan yey masuk rumah sakit," kata Yuni setelah dia duduk di tepian ranjang Neni.

"Sama, Jeng. Aduh, eyke udah panik banget pas Genta ngomong yey masuk rumah sakit. Makanya langsung cus ke sini," kata Yulia ikutan panik.

Neni tersenyum lemah. "Nggak parah kok, Jeng. Cuma telat minum obat aja. Omong-omong, makasih ya Jeng udah jengukin eyke."

"Sama-sama, Jeng. Oh iya sekalian eyke mau bilang sesuatu," kata Yulia sambil nyuruh Genta dan Hana mendekat. Hana menatap bingung ada hal penting apa yang ingin disampaikan sampai-sampai dia harus ikut mendengarkan juga.

"Begini, kita memutuskan untuk mendahulukan ijab kabul minggu depan, Jeng. Ini juga permintaan Hana sih untuk di majuin pernikahannya. Kalau resepsi sih kayaknya nggak mungkin, karena udah fix semua kan. Jadi, eyke sih saranin ijab duluan aja. Gimana? Jeng keberatan nggak?"

"Eyke sih seneng banget kalo dimajuin, gemes pengen liat Hana terharu habis dihalalin sama lelaki," Neni berkata sambil mesem-mesem.

Hana yang baru mendengar penjelasan Mama Genta sedikit cemas. Takut orang-orang menyangka yang tidak-tidak. Genta menangkap raut cemas itu dan menggenggam tangan Hana.

"Mau nggak kamu?" tanya Genta. Hana menoleh sekilas ke Mamanya yang mengangguk mengiyakan, sementara Bara hanya tersenyum, menyerahkan sepenuhnya kepada Hana.

Hana kemudian menatap Genta. "Aku rasa itu cara yang paling baik. Jadi, aku mau."

Neni yang merupakan mama Hana terlihat senang dan jauh lebih bersemangat. Dia tidak tahu apakah Mamanya menangkap maksud dari pernikahan ini jadi lebih maju atau tidak. Yang jelas, Hana lega melihat senyum lemah itu tergambar jelas di wajah pias Mama.

~

MAMA MINTA MANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang