5

7.1K 615 10
                                    

Bijak ya, FF ini penuh kata-kata kasar dan kehaluan.

Lambaian tangan Tiara menghilang begitu mobil berbelok, meninggalkan perumahaan yang udah gue tinggalin sejak kecil ini secara perlahan. Ya, ini memang terlalu cepat.

Sepanjang perjalanan mata gue cuman fokus ke ponsel pintar di genggaman, sibuk membuka semua sosial media untuk melampiaskan kebosanan. Gue terlalu enggan buat mengobrol meskipun itu Mama.

"Besok malam mau ada acara kecil-kecilan buat syukuran rumah baru. Yang datang cuman tetangga satu blok, keluarga kita, sama kolega Papa dan Mama."

Gue mengangguk, sama sekali nggak berniat buat menyahut barang satu kata pun. Kalian tau kan gue masih marah?

Keheningan benar-benar menyelimuti kita selama perjalanan. Mama sama Papa tentu tau anak satu-satunya ini masih merajuk, jadi mereka memilih diam dan sesekali mengobrol tentang pekerjaan atau hal yang hanya orang dewasa saja yang tau.

Bukan yang macem-macem kok, soalnya masih ada gue di sini. Hm.

Setengah jam kemudian mobil memasuki komplek perumahan yang memang begitu asing bagi gue. Tapi bentar—gue sulit merangkai kata yang bagus.

Jadi, duh, gimana ya jelasinnya? Ini komplek perumahan terbesar yang pernah gue lihat secara langsung. Bukan, bukan luas atau semacamnya. Maksud gue di sini, rumahnya yang besar. Benar-benar besar.

See? Itu rumah apa mansion?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

See? Itu rumah apa mansion?

Komplek elite ini berhasil membuat gue membuka kaca mobil dan merasakan semilir angin yang berhembus di pagi hari sementara mata gue masih terfokus pada setiap rumah di sini. Fakta yang mengejutkan, gue akan tinggal di salah satu rumah di sini.

Sebelumnya, rumah gue emang besar. Tapi gak sebesar rumah-rumah di sini. Besar untuk keluarga beranggotakan tiga orang, sedangkan rumah-rumah ini mungkin bisa ditinggali sama dua belas orang? Atau bahkan lebih.

Gue tersadar dari rasa keterkejutan gue saat mobil berbelok dan memasuki teras yang cukup luas. Di depan gue kini menjulang rumah berwarna biru muda yang dikelilingi dengan beberapa pohon. Di saat pikiran gue masih bercabang, mesin mobil dimatikan.

"Ayo, Rara, turun. Bawa tas kamu."

Ucapan Mama berhasil bikin otak gue berputar dan berpikir jernih. Jadi rumah di hadapan gue ini rumah gue? Seriusan rumah gue?

Gue menyampirkan tas ransel gue ke bahu kanan. Masih dengan rasa tidak percaya, gue keluar dari mobil sembari meniliti bagian depan rumah ini.

 Masih dengan rasa tidak percaya, gue keluar dari mobil sembari meniliti bagian depan rumah ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✔] Guru Bangsat SquadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang