[24] SMS

1.6K 102 1
                                    

Sepi. Gelap. Hanya ada penerangan dari ponsel pintar di sampingnya yang menyala. Alvin menatap langit-langit kamarnya, sulit di jelaskan, pikirannya penuh dan kosong di saat yang bersamaan. Berkali-kali dia kirim SMS
—Short Message Service—pada Ify yang berisi perintah agar meneleponnya, tapi tak ada balasan atau suara dering telepon yang terdengar. Alvin ingat betul yang di katakan Ify di akhir percakapannya, tapi setelah melihatnya tadi siang di sekolah membuat kepalanya ingin pecah! Dan juga, Rio sempat bilang kepadanya apa yang terjadi hingga para gadis itu terdiam. Apa itu alasan Ify? Lihat Debo? Omong kosong macam apa itu?!

"Akh! Entahlah! Gue bingung!" Alvin bangkit dari tidurnya dan terdiam kembali di atas ranjang.

Bagaimanapun juga waktu tinggal tersisa sedikit, apa bisa menutupnya kembali dengan kristal itu? Alvin bangkit kembali dari duduknya di atas ranjang dan berjalan menuju meja belajarnya, dia membuka laptop yang ada di atasnya sambil bergerak untuk duduk. Dia menekan tombol powernya hingga lampu kecil bersinar dari sana.

Tik, tok, tik, tok.

Sudah beberapa detik berlalu, tapi layar itu terus menunjukkan warna hitam. Alvin berdecak lelah, lalu memutuskan untuk mengambil smartphonenya di atas ranjang dan duduk di atasnya. Dia memeriksanya, barang kali ada telepon atau SMS, tapi tak ada. Alvin menghela napas pasrah lalu melempar smartphonenya itu ke ranjang.

Suasana kembali hening dan laptopnya tak kunjung menyala, mungkin baterainya habis. Alvin yang sedang berusaha bangkit untuk menghampiri laptopnya, kaget karena tiba-tiba saja ranjangnya bergerak-gerak. Seperti ada yang menggerakkan ranjangnya. Di gerakkan dari bawah. Alvin lekas menoleh ke belakang, ranjang itu diam kembali, sepi dan kosong. Hanya ada beberapa bantal dan sebuah guling di sana. Alvin kembali menoleh ke depan.

Smartphonenya berbunyi, cepat-cepat Alvin menoleh ke belakang. Seorang wanita berambut panjang, matanya yang merah, kulit muka yang retak, menatap Alvin tepat di depan pandangannya. Alvin lekas menjauhkan diri hingga terjungkal dan jatuh ke belakang dari ranjangnya. Dia mengaduh, lalu buru-buru bangkit dan bersiap untuk kondisi terburuknya, tapi wanita itu sudah hilang. Alvin lekas mengambil smartphonenya yang ada di tengah ranjang tanpa basa-basi, lalu kembali ke depan laptopnya yang tak kunjung menyala.

Ify :
Gue tau gimana cara gunain kristal itu.

Alvin membulatkan matanya. Dari mana Ify tahu tentang ini? Tapi, syukurlah, bagaimana juga Alvin ingin bersekolah seperti biasanya, tanpa ada seseorang seperti mayat hidup atau temannya yang mulai berkurang lagi. Cahaya tiba-tiba memenuhi wajahnya, Alvin menoleh ke arah cahaya itu.

Alvin lekas menutup layar laptopnya, bergegas menuju ranjang, lalu tidur dengan gelisah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Alvin lekas menutup layar laptopnya, bergegas menuju ranjang, lalu tidur dengan gelisah.

***

Pemandangan luar biasa sedang di tatapnya. Rio hanya bisa terdiam melihat semua orang saling menyerang satu sama lain dengan benda tajam semacam pisau, benda berat yang dapat membuat cedera berat—batu besar—, atau pun langsung dengan tangan kosong yang di kepal. Sudah beberapa orang yang berjatuhan dan juga tadi Rio sempat di serang, untung dia bisa mengelaknya. Rio menatap pergelangan tangannya, melihat jari-jari di ke dua tangannya lalu meremasnya. Rio berlari pelan, mendekati seorang pelajar yang sedang meringkuk kesakitan sembari menghindar dari beberapa perkelahian di sekitarnya. Rio melingkarkan lengan pelajar itu di lehernya dan menggotongnya ke tempat yang terjangkau aman, tempat Rio mengamati, tepatnya di ambang gerbang sekolah.

Rio menoleh-noleh, sepertinya tak pantas menaruh seseorang yang sakit di tengah jalan yang berdebu dan di tengah cuaca yang bisa di bilang agak panas. Rio membawanya kembali ke pos satpam, memasukkannya ke dalam dan menaruhnya di kursi plastik berwarna putih yang tersedia dan melepaskan lengan pelajar itu dari lehernya. Rio mengibas-ibas kerah bajunya, faktor cuaca mempengaruhi tubuhnya yang mulai mengeluarkan keringat. Tiba-tiba kerahnya di genggam erat. Pelajar itu menarik kerah seragam Rio dan melontarkan pukulan dengan jemari yang sudah di kepal.

Bhug! Bhug!

Dua kali sudah Rio terkena pukulannya dan Rio tak ingin terkena pukulan yang sakit itu untuk ke tiga kalinya. Rio meremas jemari tangan kanannya dan memukulnya tepat di hidung mancungnya. Hidung itu mengeluarkan darah, mimisan. Pelajar itu langsung terhuyung mundur, jatuh dan tak sadarkan diri. Pelajar itu memang sudah tak ada tenaga lagi, tapi dia masih saja bergerak dan menguras tenaganya untuk memukul Rio, seperti ada yang memaksanya.

"Rio,"

Rio menoleh ke belakangnya. Ify memperhatikannya dari jendela pos satpam dengan menaikkan ke dua alisnya. Perasaannya saja atau apa, rambutnya pirang kemerahan ketika disinari cahaya mentari dan suaranya ... agak berbeda, mungkin memang seperti itu rambutnya dan tentang suara, mungkin karena kelelahan. Oh, Ify masih terdiam. Sudah pasti dia salah paham. Rio menepuk-nepuk seragamnya yang kotor dan kain seragam bagian lengan sampai pergelangan lengan itu sempat terkena cipratan darah dari hidung, dia melipatnya sedikit untuk menutupi noda merah itu, lalu menghampiri Ify.

Rio tak 'kan bilang sesuatu seperti: Gue bisa jelaskan. Seperti di sinetron alay kebanyakan. Rio hanya keluar dari ruang sempit itu dan menggenggam lengan Ify membawanya pergi ke tempat lebih tenang, meski masih terdengar suara yang keras dan debu-debu yang bertebaran di sekitarnya.

Rio melepaskan genggamannya, "Hai," ujarnya sembari melambai kikuk.

Ify mengernyit. "Hai ... juga?"

Kehabisan topik pembicaraan, Rio mengelus batang lehernya dan melirik ke arah Ify. Rio terdiam. Ify membulatkan matanya sangat lebar untuk pertama kalinya yang Rio lihat. Ify seperti sedang menatap sesuatu dan membuat Rio menelan ludah seadanya meski di mulutnya sudah kehabisan air liur. Melirik dengan pelan, ketegangan mulai menjalar masuk dari jemari tangan, kebas terasa di ujung lidah dan bola mata seakan berusaha melawan saraf-saraf mata bagai kutub magnet yang saling bertolak. Percayalah, sudah susah payah dia ingin melihat apa yang di lihat Ify, tapi tiba-tiba saja.

"Kalian ngapain?"

School In AttackWhere stories live. Discover now