[25] Permainan

1.4K 114 11
                                    

Mereka berdua menoleh ke arah suara itu berkumandang. Alvin berdiri di hadapan mereka dengan tas ranselnya yang hanya dia gendong sebelah sembari melahap roti tawar berlumur mentega di atasnya.

"Hai," sapa Rio.

Alvin diam tak menjawab sapaan, sementara Rio terus menunggu membalasnya. Ify menggaruk rambutnya yang tak gatal dengan hati-hati, tapi pandangan tajam Alvin yang entah sejak kapan itu tertuju padanya. Tangan Ify yang sudah separuh jalan itu, kembali ke tempatnya.

"Rio gue pinjem orang ini." Alvin lekas menggenggam pergelangan tangan Ify. "Eh, tadi gue bilang orang? Haha." Alvin tertawa cukup dibuat-buat. Dia membalikkan badan, berjalan sembari membawa Ify di belakangnya.

Alvin membawanya ke dalam sekolah, tepatnya ke tempat yang agak sepi. Dalam perjalanan, masih terdapat orang-orang yang berkelahi di ambang kolidor, tapi mereka berhasil melewatinya meski dengan susah payah. Terus berlari dan suasana hening menghampiri. Alvin menghentikan hentakkan kakinya, menarik pergelangan Ify dengan kasar hingga badan Ify terbawa tarikannya, membenturkan tubuh Ify ke dinding. Ify mengernyit kesakitan, tapi Alvin tak memberikannya kesempatan untuk melanjutkan mengungkapkan kesakitannya. Alvin lekas meletakkan telapak tangan kanannya ke pundak kanan Ify, menekannya ke dinding. Sakit. Alvin kembali tak memberi celah untuk dia mengekspresikan kesakitannya. Dengan cepat Alvin menatapnya lekat-lekat. Semakin dekat. Hingga embusan napas Alvin yang panas bisa terasa lewat tarikan napas Ify.

"Lo bukan Ify."

***



Bruk!

"Ke mana yang lain?"

Sivia langsung bertanya setelah membuka pintu dengan suara yang hampir bergema. Jangan tanya Sivia bila tak seheboh itu, Ify dan Alvin tak ada di sana, di kelas mereka. Rio yang sedang duduk di kursi guru sembari membaca buku yang Sivia tebak itu bergenre Thiller menoleh sesaat dan kembali membaca buku itu.

"Pergi." jawab Rio singkat.

"Iya, maksud gue ke mana?"

"Kencan," jawab acak Shilla yang berada di tempat duduknya. Sivia kaget mendengarnya dan membuat Shilla terkekeh pelan. "Canda, mungkin urusan pribadi dan gue plus Rio, gak tau mereka dimana."

Sivia menaikkan alisnya dan mengacuhkan pikiran tentang Ify dan Alvin. Dia berjalan dengan lincah ke tempat duduknya. Menaruh tasnya di sandaran kursi, agak tak sempurna, sehingga membuat tasnya jatuh ke lantai. Sementara Sivia sudah pindah ke samping Shilla dengan gesitnya. Menyiapkan pena dan kertas.

"Main Charlie-Charlie kuy!" ajak Sivia.

Shilla mengernyit. Ada apa dengan mood orang itu yang awalnya resah menjadi seperti ini? Efek kebanyakan makan mecin 'kah? Dan apa itu permainan 'Charlie-Charlie'? Shilla baru mendengarnya permainan itu. Apa itu semacam 'ABCD 5 dasar'? Karena permainan ini menggunakan 2 pensil dan selembar kertas. Oh, kenapa hanya selembar kertas? Bukan 'kah permainan ini untuk dua orang, Shilla dan Sivia? Tapi kenapa hanya selembar? Mungkin Shilla harus modal, dengan kertas ia sendiri.

"Ayo." jawab Shilla dengan posisi siap 45 untuk mengambil buku dan mengambil isi tengah buku itu. Tapi, Sivia membuatnya tertahan dengan coretan di atas lembar kertas itu.

Awalnya garis horizontal yang digambar di pertengahan lembar saja sudah ganjil, ditambah garis susulan-Vertikal-yang menyilang garis tengah itu. Shilla mulai mengurungkan niatnya setelah melihat kedua garis itu menyilang. Dia pikir, mungkin itu bukan semacam permainan 'ABC 5 dasar'. Kini terdapat 2×2 kotak berbentuk persegi di lembar itu.

Sivia mengisi kotak pertama dengan tulisan 'Yes', dilanjutkan dengan tulisan 'No' di sampingnya. Lalu baris kedua dia mengisinya dengan tulisan 'No' dan selanjutnya 'Yes'. Itu membuat Shilla semakin yakin bukan permainan anak SD yang mereka mainkan. Shilla terus mengamati. Sivia mengambil dua pensil itu. Menaruhnya menyilang mengikuti garis. Ketika mengikuti garis horizontal di atas pensil yang vertikal. Sudah empat kali Sivia mencoba memperbaiki posisinya agar seimbang. Ketika percobaan yang ke lima, Sivia berhasil menyeimbangkannya. Sivia menepuk tangannya, seolah tangannya itu kotor terkena debu dengan bangga.

"Ini permainan yang mirip kayak Jalangkung." bisiknya dengan decak pinggang bangga.

Shilla kaget mendengarnya. Berarti ini bukan mainan yang mirip dengan 'ABCD 5 dasar'. Berarti bahwa ini bukan permainan anak SD, dan untuk anak SMA pun terlalu berbahaya-dikarenakan permainan itu mirip jalangkung. Bisa Shilla, tebak. Permainan pemanggil arwah.

"Gue ikutan."

Sivia menoleh dengan sinis. Rio sekarang ada di belakang mereka, memperhatikannya dan tersenyum ketika Sivia menoleh. Sepertinya Rio memiliki kekuatan untuk berpindah tempat, selalu ada dimana-mana. Dan Sivia masih menatapnya dengan tajam, sepertinya ada masalah di kedua belah pihak. Rio mengangkat kedua alis, pundak dan lengannya, seperti buronan yang telah tertangkap basah yang menunjukkan wajah tak bersalahnya.

Sivia berdecak dan membuang arah pandangannya, melancipkan bibirnya yang akan tetap tumpul itu. Rio tersenyum, menaruh buku yang beberapa waktu lalu dia baca dan duduk di depan mereka, dengan kursi yang bisa dibilang kini tak berpenghuni yang dia putar terlebih dahulu menghadap Sivia dan Shilla.

Sivia menyatukan tangannya dan mengepalnya dengan kesal. Sepertinya dia masih tak terima bahwa Rio mengikuti permainan ini. Rio ikut menyatukan tangannya dan mengepalnya dan itu membuat Shilla mengikuti mereka dengan ragu-ragu, menulah-noleh bergantian ke arah Sivia dan Rio, takut-takut dia salah arahan.

Suasana hening. Sehening dan sepinya wilayah kuburan. Hanya ada mereka dan satu tempat yang dikosongkan tepat di samping Rio. Ini seperti permainan Ouija yang mereka-Kecuali Shilla-mainkan di sekolah. Shilla sempat mendengarnya dari Debo alur cerita yang gak karuan itu, tapi dia masih mengerti di bagian ini.

"Charlie-Charlie ... kamu ada?" ujar Sivia. Tiba-tiba kepalanya diseloyor oleh Rio yang terlihat kesal.

"Pakai bahasa inggris bodoh!"

"Tapi gue gak bisa bahasa inggris!"

"Ah, bego!"

Sivia mengendus kesal. Shilla sempat kaget ketika suasana yang hening tiba-tiba jadi rusuh seperti tadi, dan kembali menjadi sepi. Rio menyatukan kembali menyatukan ke dua tangannya dan mengepalnya, lalu mengangguk pada Sivia. Sivia membalas anggukannya.

"Charlie-Charlie are you real?"

Hening dan semua tatapan tertuju pada lembar dan pensil itu. Mata mereka bahkan tak berkedip sekalipun. Setengah menit pun berlalu, Shilla sudah tak tahan menahan rasa perih di matanya ini, ingin rasanya ia berkedip, tapi takut melewatkan sesuatu yang luar biasa.

Sret.

Pensil bergerak.

School In AttackWhere stories live. Discover now