Dua

58 3 1
                                    

"Pi, ikut guwe yuk!" Hanya Mbak Ika mahasiswi semester 6 yang keluar masuk kamar Devi dengan sering tanpa ketok pintu. 

Devi masih terpaku di depan cermin memastikan jerawat dalam wajahnya tidak beranak pinak. "Kemana mbak?"

"Cari udara seger diluar" Jawab Ika seraya menggerakkan tangannya seolah memegang kipas dan menghasilkan angin yang berhembus. "Eh btw ada cafe baru tuh diujung jalan. Kesana yuk! guwe  bayarin dehh" 

"Mbak Ika gak kesambet kan mbak?" Devi memastikan bahwa tidak ada setan yang merasuki Ika secara dadakan. 

Kedua alis Ika terangkat otomatis ketika mendengar perkataan Devi. "Iye guwe kesambet. Kamar luh banyak hantu. Hantu kenangan masa lalu. Move On aja susah banget nih" 

"Yuk deh cepetan dandannya. Cuss berangkat!" ketus Ika seraya meninggalkan kamar Devi.

Awan seakan berarak mengikuti langkah kaki dua wanita yang sama-sama membawa tas ransel berisi laptop. Segudang tugas sedang mengantri untuk diselesaikan. Tidak untuk besok sebenarnya, hanya saja wifi gratis mendorong mereka untuk mengerjakan tugas malam ini di sebuah cafe yang masih berumur sebulan.

Jalan cukup lengang, maklum ini masih hari senin dan esok hari selasa. Weekend masih jauh untuk dibayangkan. Lokasi kampus yang benar-benar strategis. Ribuan rumah warga yang berbisnis kos-kosan sangat mudah ditemui. Alun-alun yang hanya berjarak 1 KM dari gerbang utama kampus, menyuguhkan ribuan pedagang kaki lima yang menjajakan makanan ringan dan makanan berat dengan harga kantong mahasiswa.

Cafe dengan nuansa bambu lengkap dengan live accoustic membuat cafe ini terllihat sangat menarik untuk dikunjungi, terlebih makanan dan minuman yang disediakan sangat terjangkau. "Pi, duduk dipojok sana aja yuk. Tuh kayaknya pusat wifi ada disana. Mayan kalau sinyalnya secepat kilat" Ajak Ika seraya menarik tangan Devi menuju sebuah meja dengan empat kursi bercat putih.

"Mbak Ika mau pesen apa? Aku gak mau kopi deh" Devi mengeluarkan laptop dari tas ransel yang memberatkan pundaknya. 

Laptop Ika sudah memunculkan sinar pada layarnya. "Guwe tau kok Pi eluh kagak suka kopi. Guwe cappucino aja deh."

Seorang wanita langsing dengan tinggi kira-kira 173 cm telah siap dengan sebuah kertas dan bolpoin yang tintanya akan dituangkan diatasnya untuk mencatat makanan dan minuman apa yang akan melewati tenggorokan dua wanita di depan matanya.

Deretan huruf menenggelamkan mereka untuk memandang laptop lebih dalam. Tak sesekali, godaan menerpa kedua insan untuk menengok sosial media. 

"Pi! Bentar deh, guwe kayak kenal sama suara ini," Ika menghentikan pandangan Devi ke monitor laptopnya. "Cowok bukan sih yang nyanyi?"

Mulut Devi memang sering kelepasan jika sudah tertawa. Gigi gingsulnya terlihat jelas, suara tertawanya pun terdengar renyah. 

"Yakali Pi, malah ketawa lagi." 

"Mbak Ika lucu deh, ya masak suara maskulin gini suara cewek sih."

Suara lelaki yang duduk di atas pentas mini memegang microfon dan melantunkan lagu yang selalu memenuhi kamar Devi disetiap malamnya. Surat cinta untuk starla. 

Devi mendadak menghentikan aktivitasnya pikirannya mendadak kabur. Tiada hari tanpa baper, begitu peribahasa dari seorang Devi. Ia sangat mudah mengingat seseorang bernama Prama kapan saja dan dimana saja. Padahal sedetik pun Prama tidak pernah mengingat Devi. Memang begitu, cinta tak terbalas.

Sangat diluar kepala bila Devi mendadak berpandangan kosong seperti sekarang ini. Ika sangat mengerti apa yang harus dilakukan sebelum buliran bening menetes di pipi Devi. "Dep! plis deh yaaa. Luh jangan malu-maluin guwe. Jangan nangis disini!"

Kedua bola mata Devi langsung ditujukan ke secangkir coklat panas yang tak lagi panas. "Apasi mbak Ika siapa yang nangis cobak, nih mata kebanyakan kenak radiasi nih mangkanya jadi begini." Disekanya pelan air bening yang hampir menetes dari matanya. Ditutupnya perlahan laptop dengan makalah yang masih setengah jalan.

"Bang Dapid!" Teriakan cempreng Ika membuat orang sekeliling cafe terfokus pada wanita dengan jilbab merah dan kemeja merah. Memang tak tahu malu, ia hanya tersenyum saat melihat seluruh mata di dalam cafe tertuju padanya. Kulit langsat pada wajahnya pun berubah menjadi merah jambu, kali ini ia punya malu.

Lelaki dengan postur tubuh tinggi tegap melangkahkan kaki turun dari panggung dan berjalan ke arah dua wanita yang sedang diselimuti rasa malu. Dengan kemeja berwarna navy, lelaki yang bisa ditaksir umurnya sekitar 21 tahun. Taksiran yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda untuk pemilik alis rimbun yang kini duduk di depan pandangan Devi. "Gak usah teriak-teriak kali! Malu diliatin banyak orang! Oh iya sih yaa, urat saraf eluh kan udah putus yaa. Jadi mana mungkin punya malu" 

Tangan kiri lelaki bersuara merdu itu mendarat ringan di bahu Ika sambil menepuknya dengan sedikit keras sebagai pertanda bahwa mereka sohib yang sangat dekat sedang jari telunjuk tangan kanannya melingkari gagang cangkir berisi cappucino yang bertengger di atas meja sedari lima belas menit yang lalu. 

"Enak banget hidup luh yee, dateng-dateng main nyeruput kopi guwe. Eh Pi, kenalin temen guwe eh bukan temen ding, lebih tepatnya tentangga. Lima langkah dari rumah," kali ini cangkir putih sudah berada dalam lingkaran jemari telunjuk Ika.

Dalam hitungan detik tangan Devi telah berada di genggaman tangan lelaki, melepas status dua orang asing dengan menyebutkan nama masing-masing, orang indonesia menyebutnya berkenalan. "David, bukan Dapid," ucapnya tegas.

Sebagai penghormatan status barunya yang bukan menjadi orang asing lagi, sebuah lekungan di bibir tipis Devi pun muncul. "Devi" 

Perbincangan nyaris tanpa jeda pun terjadi. Waktu seolah bergulir jauh lebih cepat dengan lontaran tawa yang selalu meledak dan beberapa nama yang menjadi bahan utama serangkaian pembicaraan. David dan Ika adalah sepasang sahabat dengan darah yang sama. 

David, pria berusia 20 tahun. Tebakan yang ternyata tidak tepat alias meleset satu angka. Mahasiswa fakultas hukum, sebagai pertanda bahwa David seorang kakak tingkat Devi. "Padahal guwe nge hitz yaa Ka, kok bisa temen luh kagak tahu guwe. Pasti eluh kategori mahasiswi yang dateng ngampus, masuk kelas, duduk, dengerin dosen ndongeng terus pulang ya? Terus kalau jalan gak pakek mata tapi pakek kaki? bener gak guwe?" bidik pertanyaan David yang sukses membuat Devi hanya tepok jidat dan menyadari bahwa selama ini ia hanya pergi ke kampus untuk hal yang sangat monoton. 

Malam semakin larut, tapi cafe ini justru semakin ramai dengan pemudi-pemuda malah seorang bapak-bapak berkumis tebal pun tak jarang terlihat menyesap pahitnya kopi di cafe ini.

"Eh Dev, eluh dari pada kuliah gitu doang cepet mati luh nanti. Mending luh gabung deh sama UKM guwe, musik bikin eluh panjang umur, karna eluh pasti bahagia saat dengerin musik," begitulah David, selagi ada kesempatan ia akan selalu promosi.

Ika yang lebih dulu membereskan seperangkat laptop dan lembar-lembar berisikan tulisan praktikum hingga meja terlihat lebih bersih langsung menyahut "Bener tuh Pi, apa yang dikatakan Dapid. Jadi nih ya, konser mini luh gak cuma di kamar luh doang" 

Devi hanya tersenyum. Hidup yang begitu monoton dan abu-abu. Kelabu, bagai mendung yang tak pernah ada sinar pelangi terlukiskan di cakrawala. 

Dep!Onde histórias criam vida. Descubra agora