Lima

13 0 0
                                    


Merapikan lagi kepingan hati yang sudah tercecer kemana-mana bukan hal yang mudah memang, terkadang hanya perlu membuka hati untuk hal yang baru. Begitu yang disampaikan Ika kepada David sebelum David memutuskan untuk mengajak Devi jalan berdua. Tak ingin tergesah hanya ingin menyudahi sakit yang terlanjut meradang. David ingin perlahan menyusup ke hati Devi. Wanita yang jauh lebih mudah satu tahun dibawahnya.

"Dep! Emang cowok luh gak marah guwe ajakin jalan?" David mencoba membuka topik baru sembari tetap melangkahkan kaki mengelilingi lapangan. Menutupi ke-kikuk­-kannya dengan tetap berjalan.

Devi hanya membalas pertanyaan David dengan tertawa. "Apalah aku ya Bang, jomblo dari lahir," kakinya menyepak-sepak kerikil yang ada di jalan. Ada suatu rasa yang tiba-tiba hadir melanda. Menciptakan kegelisahan yang perlahan meruak. Rasa; rindu Prama.

"Upss, sorry. Hebat luh ye, bisa gitu gak pacaran padahal udah mahasiswa"

Drrrttttt

Sebuah pesan masuk ke handphone Devi

Mas Pramaditha

Nama yang selalu dinanti Devi ketika ia mengaktifkan telepon genggam miliknya. Nyaris tak menghiraukan David, ia melempar senyum kepada David seolah memberi kode ia ingin beristirahat sejenak. "Bang, duduk dulu yuk. Capek. Udah sepuluh putaran kali yaa kita keliling lapangan"

David memegang lututnya, matanya menatap mata Devi. Wajah memelas Devi selalu membuat David luluh. "Ya udah deh, duduk dibawah pohon itu aja yaa." David menggenggam tangan Devi dan mengajaknya untuk duduk dibawah pohon beringin di bagian timur lapangan. "Kamu duduk sini aja dulu, mau ambil minum di motor bentar"

Kesempatan yang tepat, ketika David mengambil motor disaat itu pula Devi bisa mengeluarkan betapa senangnya ia mendapat sebuah pesan singkat dari seseorang yang sangat dicintainya itu, walau cintanya harus melalui jangan yang terjal dan berliku.

Terlalu berlebihan. Tetapi ini alamiah, tak dapat ditahan setiap Devi mendapat pesan singkat dari Prama ia selalu saja mengalami panas dingin di sekujur tubuhnya dan pastinya degup jantungnya akan lebih cepat dan tak berirama.

Dev, dimana? Aku di lapangan tenis Fakultas Teknik depan kampusmu nih. Lagi tanding, doain menang yaa.

Sontak pikirannya bertambah kacau, ada kebingungan yang melanda dirinya. Ingin sekali ia menerbangkan sayapnya untuk cepat sampai ke lapangan tenis satu-satunya di universitasnya, tepat di fakultas teknik. Logika dan hati selalu perang ketika saat-saat seperti ini. Ayolah Dep move on! Begitu kata logika yang sudah terlanjur lelah merasakan jerit hati Devi saat berulang kali hanya diberikan janji manis oleh Prama.

"Dep! Lama ya nungguin? Hehe maaf yaa. Habisnya parkir motor jauh sih dari sini" David menyodorkan botol air mineral ke tangan Devi.

Devi menggenggam botol mineral sambil berusaha keras mengontrol betapa cepat ribuan bunga di taman hatinya berbunga lebat. Menengguk tetes per tetes air yang menyejukkan tengorokannya yang sedari tadi bagai sungai di musim kemarau, kering keronta. 

Devi melirik wajah David yang penuh dengan bulir keringat sebesar biji jagung. Tak dapat dipungkiri, bukan hanya badannya yang proposional wajahnya pun  demikian. David sangat tampan bila dilihat dari samping. Hidungnya yang tajam dan kumis tipisnya menambah kesan tampan dalam raut wajahnya. 

"Bang Dap? kayaknya aku harus pulang duluan deh, bukan pulang sih, tapi lebih tepatnya tiba-tiba aja pingin nonton Tenis," Devi berkata dengan hati-hati, takut tersebut nama Prama. Jika sekali saja ia keceplosan menyebut nama Prama, Ika pasti akan memarahinya dengan habis-habisan. "Udah lama sih gak pernah nonton Tenis, terus hari ini lagi ada pertandingan Tenis di Fakultas Teknik." Jelas Devi mencari alasan agar David mempersilahkan ia untuk meninggalkan lapangan.

David menengok jam tangannya sebentar, jarum yang pendek masih berada di antara 7 dan 8. "Guwe temenin deh, tapi makan dulu yaa. Kali ini guwe traktir" 

"Emmm. Gak perlu deh kayaknya Bang. Ngerepotin aja. Bisa kok Devi nonton sendiri" Devi mencoba mengelak. Ia ingin kesana sendiri, memperhatikan Prama dengan lekat dan menyimpannya sendiri. Sebab, saat seperti itulah Devi merasa bahwa dunia hanya dihuni oleh Prama dan dia. 

David menggenggam tangan Devi mengajaknya berdiri. "Udah gak pa-pa, santai aja kali kalau sama guwe. Kebetulan juga aja temen guwe lagi tanding juga," David berbohong untuk hal ini, ia mulai penasaran dengan siapa Devi sebenarnya, hingga Ika memperjuangkan David untuk mendekati Devi. Devi, seperti wanita dengan ribuan misteri dalam benaknya. "kuy deh kita cepet makan biar gak ketinggalan pertandingannya."

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun Devi melangkah tepat di belakang David, mengenakan helm. Mereka menelusuri jalanan yang mulai ramai dengan kendaraan dan jejeran pedagang kaki lima. Aroma berbagai makanan mulai tercium disepanjang jalan Airlangga. Lalu memutuskan untuk berhenti di depan rumah makan  berposter ayam berbulu putih. 


Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Nov 01, 2017 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Dep!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora