Prolog (1)

12 1 0
                                    

Boom! Bzzz!

Bola-bola detonasi itu hampir saja mengenai Kiyan, Ia kembali bersembunyi di balik pilar, "Wow! Hati-hati, Tuan Puteri!" teriak Kiyan sambil mendekap sling-bag-nya, "kau galak juga ya," Kiyan berharap si Tuan Puteri ini mulai berbicara. Namun sia-sia, lusinan detonasi menghujam ke arahnya. Kiyan mulai mempersiapkan rencana keduanya, Ia menyerah mengajak si Tuan Puteri berlogika ria.

Boom! Bzz! Lusinan detonasi masih terus dilemparkan dari seberang sana. Kiyan mengintip dengan hati-hati, tak ada tanda-tanda kelelahan dari Si Pelempar Detonasi-Tuan Puteri. Kiyan mengambil nafas panjang, merilekskan tubuhnya yang kesemutan di sana-sini akibat detonasi-dengan elemen listrik-yang beberapa kali berhasil menepuk lembut tubuhnya, "Ayolah, Tuan puteri! Aila? Halo?" Kiyan tidak boleh gegabah, satu gerakan salah, maka nyawa taruhannya. Sebenarnya mudah saja, dia bisa membuat medan pelindung atau membalas dengan lusinan detonasi yang jumlahnya dua kali lebih banyak dari si Tuan Puteri ini, tetapi dia tak ingin melukai gadis itu. Kiyan masih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan jika rencana keduanya ini dijalankan. Intinya hanya ada dua, Ia tidak boleh terbunuh dan Aila tidak terluka. Dan itu hampir mustahil, mengingat Aila masih penuh amarah melemparkan rentetan detonasi dan Kiyan harus menghemat tenaganya.

Satu hentakan nafas terakhir. Kiyan dengan sigap berdiri, tubuhnya yang tinggi terpaksa membungkuk hati-hati, lalu melompat dari satu pilar ke pilar lainnya, kemudian masuk ke sebuah pintu besar. Dia berhasil mencapai altar of kings, kemudian bergegas bersembunyi di balik mimbar pualam. Sementara Aila masih berada di tengah ballroom bergaya gothic tadi, ada keraguan untuk mengejar Kiyan. Aila melihat kebelakang, tubuh oracle-oracle pengikutnya tergeletak di sana. Amarah kembali memuncak di ubun-ubun gadis sembilan belas tahun itu, "Dark! Light! Ayo!" teriaknya pada dua ekor naga berukuran sedang di sampingnya-yang tadi ikut melemparkan detonasi.

Aila masuk dengan hati-hati, Ia harus menjaga jarak dengan Kiyan. Aila bergegas melompat ke belakang pilar-rambut hitam panjangnya terurai indah, menjadi tantangan tersendiri untuk mencoba bersembunyi-sambil berusaha mencari Kiyan. Ia akhirnya menemukannya, "Dark, beri aku elemen petir," bisiknya pada Dark yang kini telah mengecil seukuran kepala manusia. Aila siap membidik, tapi Ia tidak juga melemparkan detonasi. Kiyan terlihat aneh, Kiyan bersandar di mimbar pualam itu, posisinya benar-benar jelas terlihat dari pintu masuk, seakan Aila bukan ancaman. Sesekali Kiyan melirik ke belakang. Aila menyadari hal itu, Ia melirik ke arah yang sama. Seketika itu Aila tersadar, semua menjadi masuk akal, logika mulai mengalir di otaknya. Aila dengan hati-hati melompat-lompat menuju Kiyan.

Kiyan bersigap mengambil posisi bertahan saat melihat Aila yang tiba-tiba ada di depannya. Tapi kemudian kembali tenang saat melihat wajah Aila yang menangis, "akhirnya, kau sudah sadar?" Kiyan bernafas lega, untunglah rencana kedua ini berhasil, "sudah kubilang kan bukan aku," tandasnya datar.

"Maaf, aku kira suara dentuman itu... Lalu kemudian bola api milikmu... dan tubuh-tubuh itu tergeletak di depanmu," jelas Aila, "Light, pulihkan tenaganya. Dark, sembuhkan dia"

"Sudah jelas tidak ada luka bakar di tubuh mereka, bahkan pakaian sekalipun. Lalu pedang Sindikat juga jelas-jelas di samping mereka. Hhhh!" Kiyan sebal, namun wajahnya masih terlihat tampan dan lebih coklat dari biasanya. Ia berbisik, "aku tidak tahu apa yang mereka rencanakan tapi yang pasti ini tidak bagus, Aila. Revolusi mungkin terjadi malam ini, atau mungkin sesuatu yang lebih buruk lagi. Tidak ada hal baik yang terjadi jika menyangkut Sindikat," Ia masih sibuk mengintip.

"Tuan, dentuman itu sudah berhenti. Apa aku harus memeriksanya?" tanya seseorang dengan jubah coklat tua, wajahnya tertutup rapat, hanya mata biru yang terlihat.

"Tidak perlu, biarkan saja. Kita aman di dalam medan pelindung ini. Segera selesaikan ritual. Aku mulai merasakan getaran-getaran yang familier," si Ketua kembali merapalkan mantra, tidak begitu jelas apa yang dikatakan-wajahnya tertutup topeng yang membuat tidak bisa tidur jika memikirkannya-kemudian berseru, "Oh, Yang Agung! Kami memanggilmu, bersihkan jiwa kami dari dosa-dosa, dari keserakahan duniawi!". Kemudian diikuti puluhan pengikut yang sama-sama memakai jubah. Sulit membedakan satu sama lain. Mereka berputar mengelilingi altar penyembahan berbentuk dua pilar besar dan tinggi menjulang, ujung paling atas saling bertemu, membentuk huruf 'n', ada sebuah lubang di bagian atas altar itu dan sekumpulan energi berbentuk bola-berotasi di dalam lubang tersebut-yang semakin membesar.

Quantum: SinkronisitasWhere stories live. Discover now