Keping 1: Sacred Land (1)

2 0 0
                                    

Gerimis turun dengan santai, tak terlihat seorang pun dijalanan. Aku sendiri sedang asik menyeduh kopi di teras lantai dua rumahku. Jalan-jalan mulai basah, lampu jalanan masih nanar menatapnya, bau khas hujan bercampur dengan aroma kopi mulai tercium. Aku menengadah ke atas, melamun sebentar, lalu cepat-cepat menoleh ke arah pagar.

"Val! Kau kah itu?" teriak sesorang bertubuh 'tall and fair' sembari menutupi kepalanya dengan tas kulit. Dia masih mengamatiku, "Val?" aku tidak tertarik untuk membukakan pagar. Sudah terlalu banyak tamu yang kutemui hari ini, sudah terlalu banyak senyum tabah yang kubuat-buat. Aku ingin bersantai disini, menikmati kopiku dan dinginnya hujan.

Mr. Fain berlari kecil kepagar, mereka terlihat melakukan tanya jawab, pria penganggu itu mengeluarkan secarik kertas, lalu mereka menoleh ke arahku, aku pura-pura meminum kopiku. Mr. Fain menyilakannya masuk ke rumah. Aku tidak melihat mereka lagi.

Terdengar langkah kaki mendekatiku, pintu dibuka, "maaf, Mr. Fain, aku sedang tidak mood bertemu tamu lagi..."

"aku rasa tidak yang satu ini, Tuan... dia ad.."

"kau tahu? Berhenti memanggilku tuan mulai sekarang, kau sudah seperti orang tuaku sendiri, sudah tidak ada yang melarangmu untuk memanggilku tuan lagi, kan?"

Dia tersenyum kecil, "Namanya Joe, dari panti asuhan..."

Aku melompat dari kursiku, berlari turun, mataku mencari pria tadi, lalu melambat saat dia menoleh kearahku.

"val?" nadanya ragu.

"Joe?" aku mengamati jaket hijau usangnya yang sedikit basah, pun dengan rambut kuning acak-acakannya, dan tas kulit merek KW-sekian yang tadi dialih fungsikan menjadi payung.

"hei," dia berjalan mendekat lalu merogoh sakunya, mengeluarkan secarik kertas dan sebuah gelang persahabatan 'home-made', "Val?" mataku mulai berkaca-kaca, ada perasaan campur aduk yang melewatiku. Joe memelukku. "kau bisa melewati ini, Val. Kau yang paling cerdas dulu..."

Aku menghela nafas panjang, suaraku agak parau, "paling? Menghiburku tak harus dengan membohongiku seperti anak kecil."

Aku sedang mengobrol santai dengan Joe, "... maaf," selaku ditengah obrolan kami, "lima tahun ini aku tidak mengunjungi kalian. Banyak sekali aturan dan tuntutan ini itu yang dibebankan dipundakku, terlebih lagi setelah ibu jatuh sakit. Ayahku, yang serba perfeksionis, membuatku mengambil banyak les tambahan untuk menguasai sains. Terutama persiapan untuk masuk akademi. Aku benar-benar menjadi harapan mereka satu-satunya..." aku terdiam, membayangkan mereka.

"it's ok, boy... aku turut menyesal atas kedua orang tuamu... satu-satunya hal yang bisa membuatnya tenang adalah kau menuruti kemauan Tuan Bryan, tes masuk akademi sebentar lagi. Kau harus lolos. Banyak orang-orang kuat dan pintar yang lebih mencemaskan untuk dipirkan,"

Aku tertawa kecil, sahabatku satu ini selalu bisa merubah moodku dalam sekejab, kulihat dia sedang mengamati interior rumahku. Mungkin sedang mengagumi karpet bulu warna merah dengan gambar peperangan naga dengan manusia, atau lampu-lampu Kristal dengan bingkai warna kuning yang menggantung megah diatasnya, bisa juga pintu coklat besar dari kayu jati asli yang ada pada setiap kamar, atau lukisan-lukisan peperangan besar antara empat ksatria melawan seekor naga raksasa, entahlah.

"bagaimana kabar yang lain?" tanyaku sembarangan, awkward rasanya untuk dua pria tulen hanya memandangi sekitar tanpa berbicara.

"mereka mencemaskanmu, terutama Dayla,"

"Dayna maksudmu?"

"bukan, Dayla. Dia terus-terusan menanyaiku tentang keadaanmu, padahal jelas-jelas aku sama sekali tidak tahu. Dayna cemas juga, tapi tak seheboh Dayla yang ngotot minta izin pergi kerumahmu sekarang ke Bu Linda. Kau masih ingat kan? Peraturan nomor 5 : dilarang keluar setelah jam 18.00, itu masih berlaku untuk anak seusia kita. 18 tahun!"

Quantum: SinkronisitasWhere stories live. Discover now