01 - Spring Day [Yoongi POV]

20 4 0
                                    

Angin dingin menyapa lembut Kota Daegu. Tidak ada salju yang turun hari ini, namun sisa-sisa salju kemarin masih menyelimuti sebagian lahan yang kupandang. Matahari masih malu-malu menampakkan dirinya, aktivitas pun masih belum banyak yang terlihat. Sebentar lagi, bahkan sebelum matahari sempat menyapa, Daegu akan menjadi tempat terakhir yang aku ingat. Bukan karena benci, namun terlalu banyak kisah yang bahkan hilang sebelum langkah pertama dimulai. Aku ragu untuk kembali...

Kurekam baik-baik suasana pagi ini. Pagi yang sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Pagi, saat aku selalu kehilangan tawanya. Aku tertunduk, di hadapanku kini sebuah makam yang ditutupi batu pualam putih mendominasi pandangan, di ujungnya terdapat batu persegi berdiri tegak yang diberikan pahatan sebuah nama yang kucoba lupakan. Kutatap lekat foto yang terpajang di makam, seorang laki-laki dengan senyum manis yang aku tahu pasti senyum itu dipaksakan. Rambutnya pirang sebagai tanda pemberontakan, mata sipitnya telah memandang banyak adegan pilu, pipi tembam yang perlahan semakin menjadi tirus, bahkan raut wajah bahagia yang sangat terlihat dipaksakan.

Tidak ada rangkaian bunga di atas makam, karena memang sekarang bukan hari kematiannya. Pepohonan bahkan ikut diam mengamati, tidak memberikan kesempatan apapun mengganggu rekaman di dalam benakku. Ah... aku benar-benar berharap bisa bertemu dengannya, secara nyata. Bukan mengirimkan umpatan atas kesendirian yang ia tinggalkan. Aku masih setia menunggu kehadiran sosok yang kutahu pasti tak akan kembali. Dengan segera kuhapus sebulir air mata yang hampir meluncur.

“Aku tak boleh menangis di hadapanmu, kan?” isakku tertahan.

Genangan air mata semakin menjadi di kedua pelupuk mataku. Adegan demi adegan terputar kembali di kepalaku. Aku masih ingat betul hari saat ia pertama kali datang di hadapanku dan dengan malu-malu memanggilku hyung. Aku yang sejak awal menerima dengan baik kedatangannya harus berusaha keras menerobos masuk ke dalam hidupnya yang ia kutuk sendiri. Di malam pertama kami berbagi kamar, aku bahkan tak bisa menghitung berapa kali ia membungkukkan badan meminta maaf kepadaku.

Hyung, maafkan aku.” Ucapnya pelan sesaat setelah menutup pintu kamar.

“Untuk apa?”

“A-aku... ah... harus dari mana aku memulainya.”

“Mulai saja dari duduk di sebelahku dan ceritakan tentang dirimu.”

“Ma-maf hyung, apakah aku boleh duduk di sebelahmu?” tanyanya canggung dan semakin membungkkukkan badan.

Aku yang saat itu dalam suasana hati sangat bagus kemudian mendekat dan menyentuh pundaknya pelan, berharap ia tidak berubah dari malu menjadi takut padaku.

“Kalau kau keberatan duduk di sebelahku, kau bisa berbicara di hadapanku. Kudengar kau belajar seni di Seoul, anggaplah aku cermin tempatmu berlatih drama.”

“Hidup ini bahkan lebih menyedihkan dari sebuah drama, hyung.”

“Kita bisa melaluinya bersama, perlahan.”

“Maaf hyung, aku merepotkanmu.”

“Hei, kita bahkan baru bertemu, kau belum merepotkan atau bahkan berbuat salah padaku. Kau ini kenapa?”

“Aku merasa bersalah karena eomma sudah mengambil Min ahjussi dari hyung.”

Aku seketika tergelak mendengar ucapannya. Perlu aku akui, aku bukan tipe orang yang mudah bergaul atau menerima orang baru dengan mudah. Namun, keputusan appa menikah lagi setelah kepergian eomma membuatku bertemu dengannya. Rasanya, kesepian yang selama ini aku rasakan menguap begitu saja ketika bertemu dengan senyum malu-malu miliknya. Setelah malam perkenalan itu, banyak hal yang kami jalani dan rencanakan berdua sebelum perpisahan yang begitu menyakitkan sekali lagi.

Intersection: A Story of an Uncompleted Journey Where stories live. Discover now