Chapter 2- Be Strong

3.7K 198 22
                                    


Aku menatap rumah kontrakan yang kini akan menjadi tempatku tinggal. Memperhatikan sekeliling ruangan yang terdiri dari ruang tamu, kamar, dapur dan satu kamar mandi. Bagiku rumah ini tidak terlalu sempit untuk di tempati seorang diri.

Terlebih di dalamnya sudah ada segala perlengkapan, seperti kasur, lemari, karpet tanpa kursi, dan tetek bengek perlengkapan dapur beserta satu lemari es kecil.
Aku menoleh pada lelaki yang tengah berbicara dengan seorang wanita paruh baya yang dia panggil, Bude.

“Terima kasih, Bude. Sudah membiarkan saya tinggal di kontrakan ini. Terima kasih banyak, Bukde.”

“Oh, iya, Nak. Ndak apa-apa. Lagian kontrakan ini kebetulan sedang kosong, jadi bisa kamu pakai.”

“Iya, Bude. Nanti setelah saya gajian, saya akan bayar sisanya ya, Bude.”

“Iya, ndak usah buru-buru. Toh, kamu juga temannya Dimas.”

Aku tersenyum dan melirik ke arah pemuda yang di panggil Dimas itu. “Sekali lagi terima kasih banyak ya, Mas Dimas.”

“Sudahlah. Sekarang kamu masuk, istirahat. Angin malam tidak baik untuk ibu hamil seperti kamu.” Jelasnya lembut.

Memang saat perjalanan ke sini, aku sudah menceritakan sedikit tentangku. Tentang aku yang berpisah dan memilih untuk menyambung hidup di Kota ini dan juga mendapatkan pekerjaan di salah satu café yang ternyata itu adalah miliknya.
Sungguh betapa besar rasa syukurku atas kebaikan Allah yang telah mengirim Mas Dimas sebagai penolongku.

Selesainya pemilik kontrakan dan Mas Dimas pergi, aku melenggang masuk ke kamar dan mencoba membersihkan apa yang perlu aku bersihkan lalu merapikan pakaian yang ku bawa ke dalam lemari.

“Sayang, Bunda tidak akan pernah buat kamu sedih. Bunda akan selalu membuat kamu bahagia. Bunda sayang kamu, nak.” Bisikku seraya mengusap perut setelah merebahkan tubuh ke kasur.


***


Sudah sebulan aku bekerja di café milik Dimas dan selama itu pula aku mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru ini. Baik di tempat kerja maupun kontrakan. Namun, tidak semuanya berjalan mulus.
Dimana rasa rindu akan Bram masih meraung-raung di dalam sana, meratapi nasib yang menghampiri. Andai… andai saja aku memilih bertahan sedikit lagi dan mengatakan bahwa aku hamil, mungkin bisa saja Bram akan menjadi berbaik hati padaku.

Andaikan…

Kata andai yang sebelumnya sangat aku takuti. Karena bayangan kalimat penolakan mentah-mentah yang di lontarkan Bram nantinya dan malah menyuruhku menggugurkan kandungan ini karena tidak ingin memiliki anak dari ku.

Selain itu aku sudah mulai mengidam dan itu sedikit membuatku kelimpungan menghadapinya. Jujur, selama aku mengidam hanya satu dua kali aku memenuhinya. Bukan karena tidak mau, tapi aku tidak bisa memenuhinya. Terlebih apabila aku menginginkan sesuatu lainnya yang kebanyakan di malam hari, siapa yang mau membelinya? Ya memang, terkadang Mas Dimas mau membelikannya untukku, tapi aku merasa tidak enak hati untuk terus menerus merepotkannya dan kesannya aku malah memanfaatkan kebaikannya.

Dan juga masalah lain yang sering membuatku sedih, seperti serangkaian cemooh yang di lontarkan para tetangga atau orang-orang yang berada di sekitarku. Aku memang selalu mengabaikannya, namun sifat sensitif akibat hamil itu kerap kali membuatnya menjadi bahan pikiran bagiku.

My Beloved Husband [HOLD]Where stories live. Discover now