Chapter 4- Who is M?

3.1K 208 49
                                    


Satu tahun kemudian.


Umur si kembar baru saja memasuki enam bulan dan mereka sudah mulai aktif dalam merecoki aku dan Mas Dimas yang masih setia menemani kami. Seperti siang ini aku di buat kelimpungan oleh si kembar yang tidak berhentinya menangis entah karena apa dan berakhirlah dengan aku yang terpaksa menghubungi Mas Dimas.

Setibanya Mas Dimas ke rumah dan menggendong kedua bayi itu, barulah mereka diam dan tertidur. Aku terkadang mendengus kesal, di sini entah siapa orang tuanya, sampai-sampai si kembar lebih menuruti kata Mas Dimas di bandingkan aku.

Setelah si kembar di letakkan di kamar, aku membereskan rumah sementara Mas Dimas membuka laptop yang sengaja dia bawa. Mungkin pekerjaannya tengah banyak dan itu selalu berhasil membuatku merasa bersalah telah menganggu jam kerjanya mas Dimas. Andai saja si kembar mau menurut dengan ku, aku pasti tidak akan menghubungi mas Dimas cuma karena si kembar ingin tidur.

Ketika aku sudah selesai membersihkan rumah, aku melihat Mas Dimas beranjak dari karpet ruang tamu dan masuk ke dalam kamarku. Dimas tersenyum menatap si kembar yang tertidur pulas dengan bantal yang mengelilingi mereka agar tidak jatuh nantinya saat tidur.


Alen-Alen
Dimas menggeleng pelan lalu berjalan mendekat. Menyikirkan satu bantal guling dan menggantinya dengan dirinya.

Alvira Cazia M

Dimas bergumam menyebutkan nama itu dengan rasa penasaran terhadap huruf 'M' di akhir nama bayi, yang selalu ditanyakan Mas Dimas padaku. Sedetik kemudian aku melihat Zia yang semula terlelap menggeliat lalu mata bulat indah itu mengerjap terbuka beberapa kali dan membalas tatapan Dimas dengan iris coklatnya, persis seperti milikku.

"Hai, cantik." bisik Mas Dimas ketika menoel pipi tembem Zia sebelum mengambil alih bayi itu ke pangkuannya. Aku hanya diam memperhatikan interaksi ke duanya dari ambang pintu.

"Zi... " gumam Mas Dimas mencium pipi merah muda bayi itu. "Bunda tidak pernah mau memberi tahu Ayah, apa kepanjangan huruf 'M' di akhir nama kamu dan abang." bisiknya.

Aku hanya menghela napas dalam diam. Mungkin keberadaanku masih belum di sadari oleh Mas Dimas. Untuk panggilan itu, memang saat melahirkan si kembar Mas Dimas mengganti keinginannya yang awalnya ingin di panggil ‘Om’ menjadi ‘ayah’, karena Dokter meminta Mas Dimas menemani aku selama persalinan.

Mengingat aku yang ingin lahir normal tapi keadaanku waktu itu sedikit menurun sehingga membutuhkan kekuatan dari seorang suami, katanya.

Bayi itu mengerutkan keningnya lalu tertawa, memperlihatkan dengan bangga satu gigi kecil yang baru tumbuh di gusi bawahnya, seolah menertawai ketidaktahuan Ayahnya.

"Seberapa besar pun Ayah membujuknya. Bunda adalah orang paling keras kepala yang Ayah kenal." Dimas tersenyum. "Kamu akan tahu nanti."

"Sudah puas, tuan Dimas?"

Mas Dimas mendongak dan melihatku yang berdiri di ambang pintu dengan nampan berukuran kecil di tangan. Aku masih setia di tempat dan mengamati Mas Dimas yang tengah menggendong Zia adalah hal yang menyenangkan bagiku dan lupakan bagian sisi lainnya. Dimas akan terlihat lebih hangat jika berhadapan dengan anak kembarku. Aku meletakkan baki di meja dekat pintu kamar kemudian mendekat.

My Beloved Husband [HOLD]Where stories live. Discover now