17. Perasaan Aneh

49.1K 3.5K 134
                                    

Sudah pukul setengah enam. Tapi Rana belum juga datang. Apakah begitu banyak tugas yang harus Rana selesaikan sehingga ia telat untuk pulang?

Mata Dhiani terus melirik ke arah ponselnya. Ia sedang menunggu balasan pesan dari Rana. Tapi nihil. Rana tidak membalas pesannya sama sekali. Padahal ia sudah beberapa kali mengirim pesan kepada Rana.

"Kamu sholat magrib di sini aja, Dhi. Mungkin di jalan macet. Jadi, Rana telat menjemputmu." Fitri mengusap sayang punggung Dhiani. Sebisa mungkin ia harus menenangkan Dhiani agar Dhiani tidak berpikiran macam-macam terhadap Rana.

"Iya, Ma," jawab Dhiani sambil tersenyum, menyembunyikan perasaan gelisah yang terus saja menghantuinya.

Suara adzan berkumandang dengan sangat merdu. Membuat Dhiani dan Fitri segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat Maghrib.

"Ma, kenapa pak Rana belum juga pulang ya? Ini udah jam setengah tujuh lebih, lho," tanya Dhiani kepada Fitri, ketika mereka sudah selesai melaksanakan sholat dan tadarus.

"Mama gak tahu sayang. Coba mama telepon Rana ya." Fitri membawa ponsel yang disimpan di ruang keluarga.

Bibirnya terus saja menggerutu ketika telepon tak kunjung Rana angkat. Ada apa dengan putranya itu? Tidak biasanya ia pulang telat dengan tidak ada kabar sedikit pun.

"Assalamualaikum," sebuah ucapan salam mampu membuat kedua perempuan yang sedang dilanda rasa khawatir bisa bernafas lega, ketika yang mereka lihat Rana sudah datang.

"Waalaikumussalam," jawab Fitri dan Dhiani.

"Kenapa kamu baru pulang, Ran? Dhiani sudah menunggumu sejak tadi," tanya Fitri tanpa basa-basi.

"Jalanan macet banget, Ma," jawab Rana tak sepenuhnya bohong. Karena memang jalanan tadi sangat padat.

"Kamu sudah sholat?"

"Sudah, Ma. Papa kemana?" Kali ini giliran Rana yang bertanya. Biasanya jika Rana belum pulang pasti papanya yang paling sibuk bertanya-tanya.

"Papa masih ada kerjaan di kantor."

"Oh ya sudah, kalau gitu Rana sama Dhiani pulang ya, Ma," ada sedikit jeda, "Mama gak takut 'kan ditinggal sendirian di rumah?"

"Ya enggaklah. Mama bukan anak kecil yang harus takut ditinggal sendirian di rumah. Lagian Mama udah biasa ditinggal lembur sama papamu," jawab Fitri.

Rana mengangguk mengerti. Kemudian ia mencium punggung tangan mamanya, begitu juga dengan Dhiani.

"Kita pulang ya, Ma. Assalamualaikum," pamit mereka berdua.

"Waalaikumussalam."

***

Bingung. Itulah yang sedang Dhiani rasakan. Sedari pulang di rumah mama mertuanya, Rana sama sekali tidak bertanya apapun padanya. Jangankan bertanya, memberi senyuman manis seperti biasanya pun tidak.

Sebisa mungkin Dhiani berpikir positif. Mungkin Rana sedang lelah. Jadi Rana tak sempat memberi senyuman atau bertanya kepadanya.

Udara malam hari begitu dingin. Tapi Dhiani masih betah berdiri di depan jendela dengan angin malam yang terus berembus mengenai seluruh tubuhnya.

Entah kenapa, malam ini ia sangat rindu dengan keluarga kecilnya. Apalagi dengan Yasmine yang selalu mengganggunya ketika ia sedang mengerjakan tugas.

"Aku telepon Ibu aja kali ya," ucapnya pada diri sendiri.

Dhiani membawa ponselnya yang berada di dalam saku jaket tebalnya. Ia sengaja memakai jaket tebal ini, karena ia ingin memandang langit malam tanpa harus merasa takut kedinginan. Tapi tetap saja rasanya masih dingin.

Sincere Love ✔Where stories live. Discover now