[1] Ta'aruf yang Gagal

60.5K 3.6K 187
                                    

"Cinta bukan hal yang mungkar dalam agama, tidak pula dilarang dalam syariat."
-Ibnu Hazm Al Andalusy-

🌷🌷🌷

HAIDAR punya cita-cita; visi yang telah ia tuliskan pada kertas mimpinya di dinding kamar. Sengaja ia tempel tulisan mimpinya itu di tempat strategis, yang ketika ia bangun tidur untuk qiyamulail atau sholat subuh akan ia lihat, kemudian secara tak sengaja akan ia baca.

Dua bulan sebelum wisuda, aku harus sudah menikah.

Begitu tulisannya.

Tulisan yang manis dan bermakna dalam. Visi itu sudah ia persiapkan matang-matang. Bahkan beberapa bulan ini ia sudah menimbang gadis mana yang ingin ia jadikan istri. Pun dengan izin orangtua. Ia berani menjamin bahwa orangtuanya yang sekarang di Pekalongan akan setuju dengan niat baiknya.

Haidar biasa saja, namun dia adalah pemuda visioner yang cukup taat kepada Tuhannya. Oleh sebab itu, ia berprinsip untuk tidak menjalin hubungan sebelum ia benar-benar siap untuk melamar. Haidar saat ini sedang mempersiapkan diri untuk memilih dan mengajukan proposal ke beberapa perempuan yang siap untuk ta'arufan dengannya. Dari beberapa proposal, ia tak memperoleh jawaban yang memuaskan hatinya. Memang ada satu perempuan yang ia suka dari caranya mengisi biodata. Namun hati Haidar tidak terlalu condong kepadanya. Padahal ia telah istikharah beberapa kali.

Haidar cukup lelah. Namun demi memperjuangkan visinya, ia tidak akan menyerah. Barangkali memang begini caranya mencintai, butuh proses panjang sampai benar-benar bisa merelakan hati untuk disinggahi.

"Haidar?" Seseorang memanggilnya. Itu adalah Bang Rois, murrobi Haidar.

"Masya Allah, lagi apa, ente? Dari tadi ane liat ngelamun mulu. Istighfar, Dar. Ini sudah malam, lho."

Haidar mengerjap, segera ia cek jam yang ada di layar ponselnya. "Astagfirullah, Bang. Afwan!"

Bang Rois menggeleng-gelengkan kepala. Ia tersenyum, sepertinya ia memahami apa yang sedang ada di pikiran Haidar. Bang Rois duduk di samping Haidar, menepuk pundaknya sebagai tanda simpati.

"Ada apa? Tumben."

Haidar hanya tersenyum.

"Gagal lagi, Bang," jawabnya terlihat sedikit kecewa.

Bang Rois mengangguk-angguk. Memang, proses ta'aruf sejatinya tidak boleh diumbar kepada siapapun. Hanya saja, Haidar memang sudah terbiasa terbuka dengan murrobinya, apapun masalahnya. Dua minggu lalu, setelah beberapa kali gagal ta'arufan dengan dua perempuan, Bang Rois memang merekomendasikan Hanin—seorang guru muda adik sahabatnya. Orangnya manis, berkerudung lebar, dan sangat santun dengan orang lain. Namun ia tidak bisa menjamin bahwa ta'aruf kali ini akan berhasil. Ia hanya mencoba membantu Haidar berikhtiar, selanjutnya, peran Yang Maha Kuasa lah yang menentukan.

"Sabar, Dar. Barangkali Allah punya rencana yang lebih keren buat ente. Masih inget cerita yang tempo hari pernah ane ceritain, kan?"

Haidar mengangguk, "Masih, Bang."

"Coba ceritain ulang, biar ente nggak kayak begini lagi."

"Ada seorang laki-laki yang bercita-cita menggenapkan separuh agamanya seminggu setelah ia wisuda. Rencananya ia mau melamar seorang gadis muslimah teman satu Rohisnya di kampus. Ketika mengajukan lamaran, tanpa kesulitan apapun ia diterima, baik oleh Ayahnya maupun oleh gadis itu."

Teman ke SurgaWhere stories live. Discover now