[9] Desakan untuk Menikah

19K 1.7K 45
                                    

"Sebab mencintai berarti berani menikahi."

🌷🌷🌷

PAGI itu jam setengah enam. Sabiya menutup mushaf setelah menyelesaikan tilawah satu juznya. Ia mencium bau wangi masakan dari dapur. Itu pasti masakan Ibu. Masakan yang empat tahun lamanya dirindukan oleh Sabiya.

Ia bergegas ke dapur.

"Baunya wangi sekali. Ibu lagi masak apa?"

Ibu tersenyum ketika melihat Sabiya di sampingnya. Ibu sedang membuat mendoan dan bakwan jagung, kesukaan Ayah dan Sabiya.

"Wah, pantas saja. Mendoan sama bakwan, ya? Ah, Sabiya jadi laper." Sabiya terkekeh. Ia langsung mencomot mendoan yang sudah matang di piring. "Boleh ya, Bu?"

Ibu hanya tersenyum. Mengangguk kecil. Sabiya langsung girang, ia menikmati cemilan yang tidak pernah ia makan selama di Mesir sambil duduk di kursi meja makan.

"Oh iya, mbak Kalila mana, Bu? Kok tumben nggak ada di rumah? Apa ikut Mas Yusuf mengantar Dimas ke asrama?" tanyanya.

Pagi itu suasana rumah Sabiya terasa hangat. Cuaca di luar rumah juga tampak cerah. Ayah Sabiya sedang mengisi pengajian subuh di masjid dekat rumah. Beliau adalah salah satu ustadz yang juga sering mengisi kelas di Pesantren Al-Hikmah milik Kyai Hasan Huda, salah satu pesantren besar di Bogor.

Hari senin ini biasanya hari yang sibuk. Terutama Mas Yusuf dan Mbak Kalila. Pagi buta tadi, mereka biasanya sudah bangun untuk mengantar Dimas ke asrama SMPIT As-Salam. Dimas memang suka pulang kalau akhir pekan. Dia lebih memilih pulang sehari sebagai liburan daripada harus meminta kedua orangtuanya datang untuk menjenguk. Tentu saja hal itu karena jarak sekolah dan rumah tidak terlalu jauh.

"Mbakmu itu tengah malam tadi muntah-muntah. Sudah dua hari ngeluh tidak enak badan. Makanya sebelum subuh itu Masmu langsung membawa ke rumah sakit."

"Kok Sabiya nggak dibangunin saja, Bu? Sabiya kan calon dokter, mungkin bisa membantu."

"Masmu terlalu panik. Dalam kondisi seperti itu mungkin dia lupa kalau kamu itu lulusan kedokteran Universitas Alexandria. Kan kamu tahu sendiri, dia itu kemauannya keras. Apalagi kalau merasa terdesak dan dalam keadaan panik."

Sabiya mengangguk. Ia mencomot bakwan jagung yang masih panas. Gadis berparas ayu yang memakai kerudung merah muda itu tampak teduh wajahnya.

"Apa jangan-jangan Mbak Kalila hamil lagi, Bu?"

Ibu mematikan kompor gas. Gorengannya sudah selesai. Ia kemudian mengambil kursi di samping Sabiya. Lantas menaruh sepiring gorengan hangat yang mengepul asapnya. Bau harum khas gorengan langsung tercium oleh hidung Sabiya.

"Apa mungkin? Dia sudah dua kali keguguran setelah sebelas tahun lamanya nggak hamil lagi, Bi?"

"Mungkin saja, Bu. Kan Mbak Kalila termasuk masih muda."

"Ibu berharap begitu, Biya. Masmu itu khawatir luar biasa. Sebab satu bulan lalu mbakmu sempat terkena kista."

"Amin. Semoga bukan penyakit, Bu," katanya. "Oh iya. Dimas bagaimana? Siapa yang mengantar ke Asrama, Bu?"

"Ya Allah! Ibu sampai lupa dengan Dimas. Kamu bisa mengantar, nduk? Ayahmu nggak bisa. Beliau ada jadwal pengajian di kantor walikota."

Sabiya mengangguk. "Siap!"

Ibu tersenyum. Ia sangat menyayangi putrinya itu. Sayang, Sabiya hanya pulang ke Indonesia untuk liburan dan persiapan sebelum melanjutkan proses studinya di Mesir.

Teman ke SurgaWhere stories live. Discover now