[22] Meyakinkan Diri

15.2K 1.6K 78
                                    

Mendidik generasi dimulai saat memilih ibu.

ITU lah sepenggal kalimat nasehat dari ibu yang selalu diingat Haidar. Bahkan ia mencatatnya di life plan lima puluh tahun yang ia catat di sebuah buku agendanya dan ia gambar di sebuah papan tulis di kamarnya. Agar ia selalu ingat.

Maka itu juga yang pernah disampaikannya kepada Bang Rois ketika beliau menanyakan perihal istri idamannya. Bagi Haidar, shalihah adalah kriteria wajib. Masalah fisik itu bonus. Meskipun bagi Haidar itu tetap penting. Tapi tidak lebih penting dari perempuan yang terjaga ibadahnya, dekat dengan majelis ilmu, dan memiliki visi yang sama dengannya.

Dua manusia yang disatukan atas dasar kecintaannya pada Allah akan melahirkan generasi-generasi umat Rasulullah yang berkualitas. Itu lah yang diinginkan Haidar.

"Kalau boleh tahu, apa visi dan misi pernikahan antum, Sabiya?"

Ketika itu Haidar bertanya dengan jantung yang terpacu kencang. Itu lah kali pertama ia menanyai seorang perempuan tentang hal yang sangat krusial dalam hidup. Sebuah visi; tujuan pernikahan.

"Visiku, adalah mewujudkan visi suamiku. Maka sebagai seorang istri, misiku adalah mendukung suami sepenuhnya. Selama itu tidak melanggar syariat," kata Sabiya. "Insya Allah," tambahnya.

Hati Haidar bergetar. Jantungnya berdetak sangat cepat. Sesungguhnya ia ingin sekali menatap wajah Sabiya lebih lama untuk melihat ekspresi gadis berkerudung lebar itu. Ia ingin menatap lebih jelas bagaimana gadis berperangai lembut itu mengatakan mimpi pernikahannya. Namun Haidar menahannya. Biarlah ia menumpuk perasaannya untuk sesaat. Baginya, akan ada saat di mana memang pandangannya menjadi halal. Bahkan itu adalah hak yang harus ia dapatkan. Saat ia menjadi seorang suami kelak.

Tangan Haidar bertasbih. Di keheningan malam sudut kamar kosnya ia bermunajat pada Allah. Beberapa kali merapalkan istighfar, tasbih, dan takbir. Ia sedang mencoba mendekatkan diri. Untuk kali ketiga ia memejamkan mata. Bibirnya bergetar, memohon petunjuk terbaik dari Allah. Dengan segenap perasaan penuh harap, ia menangkupkan kedua telapak tangannya.

"Ya Allah, jika memang benar bahwa Sabiya Adhwa adalah jodoh yang Engkau pilihkan, lancarkan lah rencana pernikahan kami. Berkahilah kami. Ijinkan hamba menjadi suami yang tidak mengharapkan apapun kecuali ridha dari-Mu. Izinkan hamba menjadi suami yang mampu membimbing keluargaku menuju surga-Mu. Sesungguhnya, tidak ada daya bagi hamba selain berharap penuh kebaikan dari Engkau, Ya Allah."

Air mata Haidar menetes. Ia sadar bahwa ia bukanlah manusia yang sempurna; yang bersih dari dosa. Maka apapun jalan yang akan ia lalui, ia hanya mengharapkan semua kebaikan dari Allah.

Pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah. Pun bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Haidar paham, ketika ia mengucap qobiltu sembari menggenggam tangan calon mertuanya, maka akan berpindah seluruh tanggung jawab besar kehidupan dunia akhirat seorang gadis ke tangannya. Tanggung jawabnya akan semakin berat. Ia menanggung ibunya, saudara perempuannya, istri, dan anak-anaknya kelak. Maka tidak ada yang ia harapkan kecuali ridha dari Sang Pemilik Hati. Ia senantiasa berdoa agar diistiqomahkan di jalan yang lurus. Sesungguhnya lebih sulit meneguhkan iman daripada melepas diri dan berkubang di jalan setan.

Ia kembali merapal dzikir. Malam itu banyak hal yang ia tumpahkan kepada Allah.

Sajadahnya basah oleh air mata. Sementara bibirnya basah oleh dzikir yang tiada henti.

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang