1 - Sial

267K 15K 471
                                    

Sial. Satu kata itu sedang mengambarkan keadaan Melva sekarang. Sudah terlambat bangun di hari senin pula. Sampai di sekolah dia kelupaan membawa atribut upacara, dengan sangat terpaksa Melva bergegas ke koperasi.

Setelah membeli dasi dan topi Melva melangkah cepat menuju lapangan basket. Upacara sudah berlangsung di sana karena tidak ada seorang pun murid yang Melva temui disepanjang koridor.

Bugh!

Tubuh Melva terjatuh karena seseorang menyenggol kuat lengannya.

"Lo gapapa?"

Suara itu membuat Melva tersenyum sinis. Dengan tenang dia berdiri, dilihatnya lututnya sekilas. Nggapapa dari mana, lihat saja lututnya ini sekarang lecet karena membentur ubin lantai.

Melva menghela napas lalu menatap cowok di depannya dengan tajam.

"Sorry."

Sorry, mendengar itu membuat Melva ingin sekali marah. Apalagi cowok di depannya ini tidak memasang tampang bersalah.

"Enak banget mulut lo bilang sorry!"

Cowok itu pergi begitu saja tanpa membalas ucapannya. Melva berdecak, masih pagi tapi ada manusia yang ingin mengajaknya perang. Baiklah akan dia ladeni dengan senang hati.

Melva mengejar, langsung menarik lengan cowok itu untuk kembali menghadapnya.

Dua remaja itu saling memandang. Kalau Melva terlihat kesal, cowok itu malah menatap Melva bingung.

"Ada apa?" tanya cowok itu.

Sumpah wajah anteng cowok di depannya ini sangat memancing amarah Melva, kalau bukan sedang di sekolah Melva ingin mencakar wajah itu.

Melva berusaha sedikit tenang.

"Biar gue jelasin sama lo. Pertama, lo nabrak gue. Kedua, gue jadi tersungkur. Ketiga, lutut gue lecet bentar lagi keluar darah."

Cowok itu mengarahkan penglihatannya ke lutut Melva. Benar, lutut cewek itu memerah.

"Keempat, dan lo cuma bilang sorry. Lo pikir sorry itu cukup!" ucap Melva sedikit berteriak.

"Kelima-" ucapan Melva terhenti karena melihat Bu Tuti---guru bahasa, sekaligus wali kelasnya sedang berjalan ke arah mereka.

"Lo anak IPS?" Pertanyaan itu mengambil perhatian Melva. Ditatapnya lagi cowok di depannya itu.

"Kenapa?" ketus Melva.

Cowok itu tersenyum samar. Senyum yang meremehkan.

"Terlalu perhitungan."

"Sedang apa kalian di sini?!" Bersamaan dengan itu teriakan Bu Tuti mengganggu pendengaran keduanya.

Kalau bukan karena Bu Tuti yang sudah ada di antara mereka. Melva akan memaki habis-habisan cowok brengsek di depannya ini. Anak IPS terlalu perhitungan, argumen dari mana itu.

"Kalian terlambat?"

Dua remaja itu bungkam. Sadar akan kesalahan membuat mereka tidak bisa berdalih dari hukuman. Lalu di sinilah mereka sekarang, berdiri di pinggir lapangan, di tempat barisan orang-orang yang membuat masalah. Entah karena lupa membawa atribut upacara atau karena membuat keributan di barisan.

Melva menaikkan sebelah alisnya. Diarahkannya pandangan ke semua barisan, terutama barisan para cewek. Siapa yang sedang mereka semua perhatikan. Kepala sekolah sedang memberi amanat di depan, tapi mengapa pandangan mereka semua malah ke sini.

Melva menolehkan kepalanya ke samping. Cowok di sampingnya ini. Mereka semua memperhatikan cowok brengsek yang menyebabkan dia berdiri di barisan ini. Melva menatap turun, meneliti dari sepatu yang cowok itu kenakan perlahan naik hingga dia terpaksa mengalihkan pandangan. Sial, cowok itu memergokinya sedang memperhatikan.

DestinWhere stories live. Discover now