Bagian 1

2.2K 301 57
                                    

"Mamimu, Memo?" tanya wanita berkonde besar ini kepadaku. Kali ke-11. Pertanyaan yang sama. Melulu begitu.

Memang, sejak Mami masuk perkumpulan ibu-ibu kompleks yang suka pakai kerudung polkadot hitam-pink dua tahun lalu, wanita yang kondenya seukuran bola kaki ini SELALU mengekoriku, sepulang sekolah, sekali sebulan, mengoper pertanyaan:

Mamimu, Memo?

Sungguh, aku tidak suka.

Sangat. Tidak. Suka. Mendengarnya.

Di bawah sebatang pohon jambu yang kupikir sudah malas berbuah (karena dahannya kurus-kurus dan warnanya pun kurang bagus), bangku kayu panjang menjadi tempatku duduk dan, uh, dalam keadaan hati yang kacau. Wanita berkebaya hijau-tahi-kuda ini duduk di sebelah kananku—bahkan kulihat dia sudah menunggu ketika aku baru keluar kelas tadi. Semoga tidak akan lama aku begini. Sebangku dengannya amat mengganggu mata. Aku tidak ingin perasaanku bertambah buruk, seperti halnya pohon jambu ini yang mungkin terkutuk.

Alhasil, ya aku hanya bisa cemberut. Kesal. Tetapi, Mami menasihati, kalau sedang kesal kita tidak boleh marah. Harus sabar, katanya. Ya sudah, kutahan. Tidak marah. Tidak rusuh. Meskipun, kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak nyaman lantaran tubuh gendut wanita ini lumayan menyiksa hidung.

Beruntung hidungku tidak sampai meliburkan diri. Di hari beranjak siang nan terik ini, sebagaimana aku, beberapa murid turut berteduh; memanfaatkan sebaris pohon jambu yang tumbuh separuh melingkar di sepanjang pagar bagian dalam. Selain adem, pepohonan itu bahkan turut mendekap ramah halaman sekolahku yang berbatu-batu-segi-enam—yang entahlah berapa banyaknya.

Tetapi kalau ditanya berapa banyaknya pohon jambu yang mengitariku ini, dengan lantang akan kujawab: sebelas. Tahun lalu aku—iseng—menghitungnya. Awalnya cuma berniat meringankan beban Pakde dengan membantunya menyapu guguran daun, namun Pakde geleng-geleng, dan aku tiba-tiba dapat ide: bagaimana kalau kuhitung saja jumlah pohon-pohon tersebut? Habis aku kesusahan, sih, pegang sapu lidi yang berat itu. Seperti menggotong tiang listrik, gurau Pakde. Mungkin dikarenakan wujudku imut-imut, mirip bonsai kecil-kecil di teras rum—

Ah, Mami terlambat.

Jam tangan Tinky Winky-ku (hadiah ulang tahun ke-8-ku minggu lalu dari Papi) membuktikan 17 menit berlalu dari jadwal biasanya Mami menjemput.

Satu per satu siswa kelas 3 sepertiku—yang memang sudah jadwalnya pulang—melangkah riang. Jemputan masing-masing telah menanti, bergiliran stop di depan gerbang yang terbuka lebar. Namun, ya aku masih mesti menunggu. Dari bangku tempatku berada, di pohon yang paling dekat gerbang (sekolah di kiri dan jalan di kanan), kupantau belum tampak mobil Mami pada antrean itu.

Aku tengah membenahi dasi merahku yang serong ke pundak, ketika bayangan dedaunan di atas mendadak bergerak.

Oh, angin rupanya. Kukira tadi itu sesuatu yang asing—entahlah. Yang penting sekarang tubuhku sejuk. Hatiku, ya masih suntuk. Selain gara-gara wanita berkonde besar ini, juga disebabkan Mami yang supertelat.

Huh.

Pukul 11.37. Pekarangan sekolah mulai lengang. Angin berembus kencang, jail memberantakkan rambut hitam keritingku yang kemarin baru dipangkas sebatas bahu oleh Mami—pakai gunting bergambar Masha and The Bear (serial kartun nomor dua favoritku). Namun begitu kucoba merapikannya, rambutku terasa kasar. (Duh, aku lupa bawa topi rajutku yang besar-besar keungu-unguan. Kurasa benda itu cukup ampuh melindungi rambut.) Menunduk dengan kedua tangan di paha, kupelintiri ujung rok merah selututku. Aku mendesah. Kesejukan barusan ternyata tidak banyak membantu. Sebab setelah kesal, kini, aku bosan. Dan, aku tidak suka bosan.

"Mamimu, Memo?"

Nah, lagi.

Pertanyaan ke-12.

Aku geram. Muak. Dengan keras aku mendengkus. Cepatlah, Mi, pintaku. Kuharap Mami segera tiba.

Ingin sekali aku mengusir wanita berkonde besar ini sekarang juga. Sayangnya, aku bukan orang dewasa. Kata Mami, anak kecil tidak boleh menyuruh orang dewasa untuk melakukan sesuatu, bolehnya cuma minta pertolongan. Mengusir, menurutku, tidak masuk ke dalam "minta pertolongan". Makanya aku tidak berani mengusir. Lagian aku tidak tahu harus bicara—

Oh!

Lebih baik kubuat sajalah kepalaku ini sibuk, sebab pikiranku tidak bisa diam kalau aku lagi diam. Satu, dua ... tiga! Ya, alasannya ada tiga! Maksudku, barusan aku selesai berpikir, lalu menemukan tiga buah alasan, terkait mengapa wanita berbau jambu-yang-sewaktu-sarapan-tadi-batal-kumakan-sebab-kata-Papi-sudah-busuk-dan-ada-ulatnya-sehingga-harus-dibuang-ke-bak-sampah ini bagiku sangatlah menyebalkan.

Pertama, aku tidak mau telingaku tuli jika harus terus menyimak suaranya yang berat mirip nenek sihir di serial kartun nomor satu favoritku (enggan kusebut judulnya, sebab terdiri dari selusin kata yang tidaklah penting untuk dilemarikan di otak). Pada salah satu episode, nenek sihir berjubah batik itu terbahak-bahak—persis gunung meletus, lantas dengan raut muka angker mengayun-ayunkan tongkat sihirnya yang berbentuk kobra ke arah seekor elang. Aku ketakutan, sangat, sampai-sampai memejam rapat-rapat, hingga hampir mengantuk, lalu berakhir buruk ketika sadar nenek sihir itu munculnya sekilas. Terlewatlah olehku sejumlah adegan seru karena aku tutup matanya kelamaan.

Pun, lantaran curiga wanita berkonde besar ini memang betulan penyihir, maka aku memberlakukan jarak aman ketika berada di dekatnya: jangan sampai bersentuhan, jarak minimalnya sepanjang botol air minumku, maksimalnya sejauh-jauhnya. Aku takut kalau-kalau bantal Doraemon di kamarku disihirnya jadi kucing. (Aku takut kucing. Meski bagaimanapun, Doraemon itu kucing. Taringnya, sih, yang mengerikan. Itu mengingatkanku pada Drakula.)

Kedua, dia selalu memanggilku Memo. Ih, jelek betul di telinga. Memo ... itu Sangat Bukan Aku. Aku bukan laki-laki dan tidak mau jadi laki-laki dan tidak mau pula disangka laki-laki. Meskipun, wanita berkonde besar ini tidak benar-benar bersalah, sih.

Nama lengkapku Memorabilia Nilafana. Saat dulu memperkenalkan diri di depan kelas, aku mohon dipanggil Nia saja. Begitulah Mami dan Papi memanggilku. Sejujurnya pun aku senang dipanggil begitu. Mulut tidak dibikin pegal.

Ketiga, "Mamimu, Memo?" tidaklah sulit diterka. Maksudku, termuat lima suku kata di dalamnya: ma, mi, mu, me, mo. Bila m-nya meninggal, maka tertinggallah a, i, u, e, o. Aku benci jika ada seseorang (atau sekelompok orang) menyebutkan a-i-u-e-o, atau mendapati a-i-u-e-o di dalam buku cerita yang gemar sekali kubaca dan Papi belikan setiap pekan. Itu kedengarannya ... semacam sesuatu yang sudah pasti akan dikatakan seseorang (atau sekelompok orang) dengan urutan tetap sepanjang waktu. Jarang sekali orang bakal bilang u-e-a-o-i atau e-o-i-u-a dan seterusnya. Mulut pastilah pegal.

Intinya, aku suka tidak suka pada sesuatu yang serbapasti. Seakan tidak ada yang boleh menukar urutan atau menghapus bagian atau menghindar dari suatu peristiwa yang hendak terjadi. Pernah Papi berujar, "Nia, mustahil bagi manusia memprediksi apa yang bakal terjadi setahun, sehari, atau sedetik kemudian secara akurat. Kita tidak akan pernah tahu, Sayang. Kehidupan itu—"

Akan tetapi, aku tahu.

Tanpa diperintah siapapun, aku langsung melompat maju—seolah ada yang mencubit pantatku dengan kuku berkuteks cokelat kekuning-kuningan yang baru dipotong.

Aku berlari, secepat mungkin, menjauhi pohon itu.

Sesampai di teras kelasku yang menjadi tujuan, usai membenarkan tali ransel violet di bahu, kuamati apa yang sesungguhnya terjadi. (Letak teras tidak begitu jauh dari pohon sehingga tugas mata jadi gampang.) Tatapanku, yang semula mengarah pada dedaunan pohon jambu itu, sontak merosot. Bagiku, sesuatu di bawahnya jauh lebih menarik. Jauh lebih unik. Juga, rumit.

Jidatku mengernyit.

Wanita berkonde besar itu menjerit.

Ma Mi Mu Me MoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang