Bagian 2

1.1K 217 22
                                    

Sosok gempalnya bagai kesetrum. Animasinya ada di serial kartun favoritku, yang mana rangka tubuhnya bakal berpendar-pendar kuning dengan latar belakang hitam (meski sebetulnya tidak seberlebihan itu).

Dia masih di tempat. Namun, dia meloncat-loncat seperti ketagihan main skiping atau, mungkin lebih tepat, seperti orang yang pantatnya habis dicubit kuku berkuteks cokelat kekuning-kuningan yang baru dipotong setahun lalu. Jelas kuperhatikan wajahnya yang panik, serta mulut dan hidung dan mata menganga.

Memandangnya, aku jadi teringat elang malang yang nenek sihir kutuk. Karena, persis ketika sang elang dimantrai, tangan wanita berkonde besar itu menggapai-gapai ke sana kemari. Bawahan berupa kain batik panjang—tidak kalah ketat dengan kebaya hijau-tahi-kuda-nya—menjadi acak-acakan. Mustahil baginya berlari kabur. Pelan-pelan dipungutnya bakiaknya yang tergeletak terpisah beberapa meter dekat pagar. Orang-orang yang keluar-masuk gerbang melongo menyaksikan.

Alih-alih kasihan, justru aku tertawa—pelan saja. Bukan serupa tawa jahatnya nenek sihir. Lebih semacam tawa terhibur. Lekas aku berterima kasih kepada Tuhan, selepas mencermati lagi tangannya yang mengibas-ngibas ke atas.

Sesuatu bertengger tepat di puncak kondenya. Sesuatu ... yang bertaring.

Aku mengelus dada.

Lega.

Sebab, andai aku telat menyingkir sedetik saja, maka sesudahnya, ketakutan luar biasa bakal menghantuiku seumur hidup.

Adalah seekor anak kucing, yang mendarat di sana.

Oh! Rupanya tidak hanya angin yang menyebabkan bayangan dedaunan bergerak saat dasiku menyerong tadi.

"Nia, kamu belum pulang?" Aku menoleh. Bu Sukma, guru Matematikaku, menepuk pundakku.

"Mami terlambat jemput, Bu," jelasku, tersenyum.

Bu Sukma juga ikut dan, masih, tersenyum. (Nilai ulanganku seratus, seperti sebelum-sebelumnya, dan kulihat Bu Sukma gembira. Dia terus saja tersenyum semenjak kertas ulanganku dibagikan di awal jam pelajaran tadi.)

Omong-omong, Mami dan Bu Sukma sudah saling kenal. Mami pernah cerita bahwa Bu Sukma itu tetangganya semasa kecil. Mereka berpisah kota selulus SD, hingga belasan tahun lamanya, kemudian berjumpa kembali lima tahun lalu di kota yang cenderung panas dan kadang berasap ini. (Kata Papi, asap itu timbul akibat kebakaran hutan. Ketika kutanya kenapa bisa begitu, Papi langsung menyodorkan masker, katanya wajib kupakai saat asap itu datang, agar tidak terbatuk-batuk, dan aku tidak bertanya lagi.)

Belakangan Mami dan Bu Sukma kuamati semakin sering mengobrol, lewat ponsel terutama. Ya, keduanya memang bersahabat. Pernah kudengar mereka menyebut-nyebut namaku. Waktu itu aku—tanpa sengaja—menguping. Kutemukan ponsel Mami yang berdering dalam kulkas karena Mami suka lupa menaruh ponselnya. Pada layar terpampang "Sukma", dan itu pasti Sukma yang itu. Lantas, kuserahkanlah ponsel itu kepada Mami yang kebetulan habis dari kamar mandi. Mami pun keasyikan menelepon, dan aku tanpa sadar betah menonton.

Aku tidak kaget atas pertanyaan Bu Sukma barusan—kupikir Mami memintai tolong Bu Sukma supaya mengawasiku. Aku cuma kaget atas kehadirannya yang tiba-tiba. Kendatipun, tubuhku tidak menampilkan bagaimana kaget itu (tidak serupa kala kali pertama lihat Drakula, yang mana remote TV langsung kubanting ke lantai, dan Papi tampak mau marah, tetapi batal begitu melihatku pasang tampang bersalah).

"Kamu kenal ibu itu, Nak?"

"Temannya Mami, Bu," aku terdiam, memandang keributan di pohon, lalu kembali fokus ketika mendadak Bu Sukma bersin, "tapi Nia lupa siapa namanya."

Terpikirlah olehku betapa berfungsi telah kuciptakan alasan untuk menolak dipanggil dengan dua suku kata pertama nama depanku. Wanita berjilbab biru tua di hadapanku ini, contohnya. Siapa, sih, yang berani memanggilnya Bu Suk?

"Kamu tunggu di sini saja, ya." Bu Sukma melirik jam di tangan kanannya, sedang tangan yang lain menjinjing dua-tiga buku pelajaran.

"Nia tidak bisa tengok Mami dong, Bu."

"Maksudnya?"

"Nia baru bisa tahu kapan dan yang mana mobil Mami kalau tengoknya dari situ," kutunjuk bangku panjang tadi, "pagarnya tinggi sekali, Bu."

Bu Sukma terlihat berpikir serius, sesekali menyipitkan mata pada wanita berbakiak yang kini mulai berjalan menjauh. "Baiklah," ucapnya kemudian, "tapi kamu jangan keluar pekarangan. Duduk saja dekat pohon jambu itu"—di situ tampak Pakde yang datang menyeret sapu lidi dan bak sampah dan—"Sekarang sedang marak penculikan anak, lho, Nia. Ibu takut kamu kenapa-kenapa. Mungkin sebentar lagi Mami kamu sampai."

Aku mengangguk, mengerti.

"Kamu Ibu tinggal mengajar dulu, ya. Kalau ada apa-apa, langsung saja temui Ibu." Bu Sukma menunjuk dengan jempol kelas 4C, bersebelahan dengan kelasku yang kini kosong, 3A.

"Tunggu, Bu!"

Bu Sukma berhenti.

"Ibu jangan menangis, ya."

Sepasang alis Bu Sukma bergandengan. "Ibu baik-baik saja, kok," tanggapnya, ragu-ragu. "Memangnya, kenapa Ibu tidak boleh menangis?"

"Pokoknya jangan sampai keluar air mata. Nah, itu."

Bu Sukma menggosok-gosok matanya. Setelahnya tampak memerah. Berair juga.

Dahiku mengerut. Sebab, wali kelasku itu terkikik-kikik, malu barangkali. "Iya nih, Nia, banyak debu. Ibu ada iritasi mata, tapi obatnya ketinggalan di rumah. Terima kasih sudah mengingatkan." Bu Sukma lagi-lagi mengucek mata. "Tapi ... kamu kok tahu Ibu bakal menangis?"

Bu Sukma memain-mainkan jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus, menyerupai dua orang yang berdampingan membungkuk beri hormat. Aku tahu apa artinya. Papi pernah memberitahu. Bahwa, itu berarti Bu Sukma sedang membentuk tanda kutip saat berbicara, tepat pada kata "menangis". Berarti lagi, menangis yang Bu Sukma maksud bukanlah menangis yang sesungguhnya. Menangis yang sesungguhnya itu setahuku karena sedih atau terharu. Menurutku, Bu Sukma menangis bukan karena sedih atau terharu, melainkan karena debu.

"Nia cuma ... iseng, Bu. Eh, ternyata benar."

"Ya sudah, kamu hati-hati."

"Dan Ibu jangan menangis lagi, ya."

Bu Sukma tertawa.

Sebelum pergi, buru-buru aku menyalaminya. Bu Sukma MASIH belum putus tersenyum. Giginya tampak putih merata. Kubalas saja senyumnya—kendati gigiku tidak tampak putih merata karena kebanyakan minum susu rasa anggur—supaya sopan. Kata Papi, tersenyum itu dianjurkan, kok. Kecuali, bagi Drakula dan nenek sihir.

Aku masih berdiri di teras, seiring penciumanku menghirup sesuatu yang tidak sedap.

Ah.

Bahuku lemas.

Wanita berkonde besar itu nongol begitu saja dari arah samping. Nyaris kami bertabrakan jika tidak kuambil satu langkah mundur.

Cepat-cepat aku mendongak.

Oh.

Syukurlah.

Tidak ada kucing.

"Mamimu, Memo?"

PERTANYAAN KE-13!


Ma Mi Mu Me MoWhere stories live. Discover now