Bagian 4

651 149 5
                                    

Aku benci benci benci benci—

Dengan santainya dia empaskan badan di samping kananku, sampai-sampai mengguncangkan bangku panjang ini. Untung tidak kuulangi kesalahan yang sama dengan duduk terlalu ke pinggir, sebab jika begitu, aku yakin bakal terjengkang, persis dilempar jungkat-jungkit yang berat sebelah—yang dialah pemberatnya!

Kini ditatapnya aku, tanpa pasang tampang bersalah, seolah dinilainya sikapku ini bermakna aku tidak ingin mengusirnya. Justru, aku SANGAT INGIN MEMBUANGNYA!

Seketika aroma kecut membikin hidungku hampir meliburkan diri. Penampilannya kian menyiksa mata. "Bola kaki hitam" tadi telah miring ke kiri. Dinaikkannya tangan guna memperbaiki konde raksasa itu, tepat ketika spontan aku tutup hidung. Ih, ketiaknya basah. Namun, yang bikin aku tidak sempat merasa risi, alih-alih kaget, adalah tongkat berbentuk kobra yang lagi dicabutnya dari kepala!

Aku tahu benda itu bernama tusuk konde. Dua hari lalu Bu Sukma menerangkan tentang kebaya, bakiak, konde, juga tusuk konde kepada para siswi; wajib dikenakan saat karnaval Hari Kartini dua hari lagi. Itulah alasan Mami memangkas sebatas bahu rambut keritingku; supaya mudah dipasangkan konde—tentu saja konde yang kecil. Mamilah yang nantinya meriasku. (Kuharap penampilanku bisa secantik istrinya Bapak Presiden.)

Aku mengucek mata beberapa kali, memelotot, berkedip; mengetes masih sehatkah penglihatanku ini. Tusuk konde itu ... sungguhan mirip tongkatnya nenek sihir! Ukurannya saja yang lebih mungil (mungilnya mencemaskan, bukan mungil yang menggemaskan). Aku mengusap-usap tangan. Gemetar. Khawatir.

Takut disihir.

Maka, pelan-pelan agar tidak berisik, kujauhkan pantat.

Dia—yang masih kerepotan "merakit" kondenya—menyadari gerakanku, justru mendekat.

Aku menggeser ke kiri, dia ikut geser.

Aku menggeser sekali, dia menggeser dua.

Aku menggeser dua kali, dia malah tiga.

Begitu seterusnya, sampai aku sudah terlampau jengkel dan geram dan marah dan muak dan hendak bicara langsung dengan ... sopan. Nasihat Mami tanpa permisi menggedor-gedor benakku; tidak boleh marah, tidak boleh mengusir orang dewasa.

"Mamimu, Memo?" desaknya entah yang keberapa kali.

Okelah, sekali ini saja, akan kuladeni. Aku tidak peduli lagi penyihir atau tidakkah dia itu. Kucengkeram kayu yang kududuki. Aku tidak takut lagi menatapnya jitu. "Nia, Tante," jawabku, tegas.

"Namamu Memorabilia Nilafana, bukan?"

"Benar, Tante."

"Nah."

"Nah apa, Tante?"

"Mamimu, Memo?"

"Nia, Tante. Bukan Memo."

"Saya tahu panggilanmu Nia."

"Terus?"

"Saya cuma mau tanya."

"'Mamimu, Memo?' Begitu, Tante?"

"Bukan."

"Terus?"

"Itu."

"Itu apa, Tante?"

"Ya ... itu."

"Maksud Tante?"

"Nama saya Dante."

"Jadi, maksud Tante Dante?"

"Itu lho, Nia."

Untuk pertama kalinya dia memanggilku Nia—yang ajaibnya perlahan menidurkan amarah di hatiku.

Untuk pertama kalinya pula aku berbincang cukup panjang dengannya—padahal yang sudah-sudah tanggapanku hanya mengangguk atau menggeleng.

Dan, untuk pertama kalinya pula aku berbohong—tidak sepenuhnya, sih, karena Papi melarangku berbohong.

"Tidak, Tante," sahutku pada akhirnya.

"Kalau bukan Mamimu, siapa?"

Jawabannya Mami. Tetapi tiba-tiba aku tidak yakin. Semacam ada sesuatu yang menghalangiku untuk menyatakannya. Lidahku bagai dikendalikan makhluk asing, memerintahku supaya menyebutkan lain. Kulirik "bola kaki hitam" itu telah menempel seperti sediakala. Maka, berhati-hati siapa tahu dia bakal pamer tusuk konde terkutuk itu lagi, kujawab, "Nia bingung, Tante." (Tidak sepenuhnya bohong, bukan?)

Digaruk-garuknya pelipis yang banjir keringat. Di samping gatal, barangkali pula akibat heran. Kutiru tindakannya (hanya karena heran, gatal tidak). Aku heran pada diriku sendiri sebab, juga untuk yang pertama kalinya, aku tidak tahu jawaban pertanyaan berulang itu.

Namun, aku bukannya benar-benar tidak tahu.

Hanya ... tidak benar-benar tahu.

Ma Mi Mu Me MoWhere stories live. Discover now