Bagian 3

853 176 16
                                    

Kesabaranku tamat. Tanpa pikir panjang, kutinggalkanlah dia.

Kembali aku berlari, kali ini lebih kencang, ke posisiku semula menunggu jemputan—pohon jambu dekat gerbang tadi. (Jengkel rasanya kalau harus bolak-balik teras-pohon melulu.)

Setibanya, aku terengah-engah. Namun positifnya, dia tidak mengejar.

Kujatuhkan pantat ke bangku, sejenak merapikan baju putihku yang kusut, kemudian menengok ke depan. Tampak wanita berkebaya ketat itu bersandar pada dinding luar kelasku. Kepanasan. Dikipas-kipasinya badan dengan telapak tangan. Kelelahan. Kini digoyang-goyangkannya kepala atau memutar-mutarnya atau—aku buntu mesti menyebut apa. Pokoknya dia itu sibuk membebaskan konde jumbonya yang tersangkut jendela.

Bagaimanapun, aku tetap enggan menghiraukannya.

Tanpa sadar, angin ternyata telah dengan lembut membelai tengkukku. Plong. Membuatku terpejam (tidak sampai mengantuk). Mulailah kuresapi kesejukan ini. Tenang. Perlahan. Merasakan. Membayangkan aku tengah berada di kutub utara. Dingin. Bersalju. Sendirian. Lalu, ketika mata terbuka, Masha dengan kerudung pink-nya tahu-tahu sudah berdiri di hadapanku. Dia lambai-lambaikan tongkat perinya, dan berubah wujudlah aku menjadi Misha Si Beruang. Sesuatu mengangkutku ke langit. Aku menunduk. Rupanya ada semacam sebongkah lantai es—yang terus mengangkat semakin tinggi—tepat di bawah kakiku, yang di bawahnya lagi ada cerobong asap sebesar gunung! (Asap tersebutlah yang menurutku mengangkat lantai es itu sehingga lantai es itu mengangkatku.) Sontak kujangkau mulut, periksa apakah aku pakai masker pemberian Papi atau tidak dan, ternyata tidak! Aku panik, sebab ada yang ganjil kuraba di sana.

Bibirku pecah-pecah. Kering.

Sekejap berikutnya lingkungan serbaputih di sekelilingku lenyap, dan aku terduduk kembali di bangku kayu ini.

Ah, lantaran haus, khayalanku jadi terlalu bagus, dan khayalan yang terlalu bagus kata Papi tidak terlalu bagus.

"Boleh kok kamu berkhayal. Tapi sewaktu baca buku ini saja, ya," Papi mengingatkan, setiap pekan, usai membelikanku sebuah buku cerita. Ya, setuju. Lagian, aku kan tidak mungkin berkhayal sewaktu ulangan Matematika. Kurasa tujuan Papi menyampaikannya adalah agar aku senantiasa fokus pada apa yang tengah kukerjakan, tanpa berkhayal yang bukan-bukan.

Terkait cerobong asap itu ... kuakui memang lagi tidak fokus tadi.

Kupindahkan ransel dari punggung ke depan, memangkunya, merogoh botol air minum di saku pinggir.

Kosong.

Ingat! Saat jam istirahat tadi kan aku minum lumayan banyak—karena berkeringat—setelah tiba-tiba mengkhayalkan sesuatu yang bukan-bukan bakal terjadi tidak lama lagi. Padahal, aku kan tidak sedang baca buku cerita. Ransel violetku hanya menampung alat tulis dan buku tulis dan buku paket dan buku cerita Papi larang kubawa ke sekolah.

Ah, juga lantaran haus, rasa kesalku yang sempat tidur sekarang bangun.

Kusandangkan ransel, naik ke bangku, berjinjit sambil cengkeram erat-erat batang pohon, fokus, lantas melongok ke celah pagar besi bercat hitam setinggi kira-kira dua kali tubuhku.

Mataku berkilauan—persis adegan sewaktu salah seekor tokoh di serial kartun favoritku membuka kado ulang tahunnya yang ternyata sekarung blueberry! Kutelanlah air liur. Di sana, di trotoar, berderet gerobak-gerobak penjual minuman warna-warni. Air kelapa, es tebu, jus jeruk, cappucci

No!

Bukankah Bu Sukma tadi bilang tidak mengizinkanku keluar pagar?

Aku takut Bu Sukma marah. Aku takut Bu Sukma tidak mau lagi kasih senyum gigi-putih-merata-nya bila aku sampai melanggar perintahnya. Segera kulupakan rencana itu, sebab terik begitu menyengat di kulit. Buru-buru aku menggeser duduk lebih ke kiri, tempat cahaya matahari tidak terlampau membuat kulit sakit. Menurut jam Tinky Winky-ku, sekarang lewat tengah hari. Huh. Bibir dan kerongkonganku menagih air. Perih.

Ma Mi Mu Me MoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang