Bagian 7

19K 2K 78
                                    

BAGIAN 7

"Deadliest combination ever: mature by mind, kid by heart. Rude from outside, caring from inside."

―Gentlewomen Sayings

Bolos sekolah demi kepentingan lain selain berobat tidak pernah terlintas di benak Quinsha, namun pengecualian untuk hari ini.

Sumpah mati, andaipun ia meyakinkan diri sendiri jika seperti penuturan Raline sang ibu, "semuanya baik-baik aja", gadis itu tetap gelisah. Pasti akan sulit berkonsentrasi saat belajar.

Kendati di mata Quinsha orang tuanya semalam biasa saja―maksudnya tidak ada tanda-tanda sedang dilanda sesuatu mendesak krisis yang entah apa itu, baik Raline maupun Theo, berharap keduanya sanggup menyelesaikan permasalahaan yang tengah dihadapi tanpa melibatkan putri semata wayang mereka.

Akan tetapi seolah bekerja berkebalikan dari harapan orang tuanya, takdir menuntun Quinsha memberanikan diri mengunjungi kantor sang ayah pagi ini.

Dengan rok A-line sedikit di atas lutut, kaus polos yang dibalut waistcoat juga baret yang menghiasi kepalanya, gadis yang baru berusia tujuh belas itu melangkah pasti memasuki gedung berlantai dua puluh tempat di mana perusahaan ayahnya berada.

Pagi hari kondisi gedung ramai, tentu saja, terlebih Kamis masih merupakan hari kerja.

Me: Quinsha di kantor papa, bawain camilan nih hehe😉

Dua menit selanjutnya tanda pesan telah dibaca muncul. Quinsha berdiri di lobi. Pandangannya mengedar ke segala penjuru. Perusahaan ayahnya memang tidak sebesar perusahaan sang kakek, Cendana, yang bergerak di berbagai bidang itu. Real estat, ritel, media, dan pendidikan. Theo adalah kepala sekaligus pendiri dari Cayapata Group, salah satu perusahaan makanan Indonesia yang eksistensinya mulai digemari.

"Kamu kok bisa ke sini, Nak? Enggak sekolah?"

Leher Quinsha berputar ke belakang, melihat ayahnya yang berjalan mendekat. Langsung saja gadis itu memeluk Theo. "Miss you, Dad."

Theo terkekeh. Mengusap lembut puncak kepala sang anak. "Miss you too, Princess."

"Quinsha bawa brownies kesukaan Papa," Beritahunya sembari mengangkat sebuah paperbag. "Papa enggak lagi sibuk kan tapinya?"

Ayahnya menggeleng dan tersenyum. "Papa selalu free buat putri Papa yang cantik ini."

"Aha, you playing magic with your words. That's why Mom loves you so much, right?" Sekarang Theo tertawa kecil.

"Bisa aja kamu." Ujarnya dan menuntun putrinya masuk ke dalam lift.

Terakhir kali Quinsha datang ke kantor ayahnya sekitar dua bulan lalu. Untuk acara amal lebih tepatnya. Omong-omong, Quinsha masih bungkam mengenai pertanyaan yang menyangkut kedatangan ibunya tempo hari. Ia tengah mencari waktu yang tepat.

Pintu lift terbuka, sosok Pak Imran lah yang pertama kali menyapa pandangan mereka. Sekertaris sekaligus orang kepercayaan ayahnya itu menunduk sekilas.

"Lingga menunggu di ruangan Bapak,"

Quinsha mengernyit. Ia memerhatikan ekspresi sang ayah yang kelihatan datar-datar saja.

"Ngapain Lingga ke sini, Pak Imran?" Bukan Theo, tetapi Quinsha yang mengajukan tanya.

"Saya juga belum tahu, Non Quin. Mungkin ada urusan sama Bapak."

Quinsha menahan diri agar tidak mendengus. Pak Imran benar, memang mau apalagi anak kedua Bajra Sahdjimoko kemari kalau bukan ada urusan bersama ayahnya, kan?

ABS [1]: Princess In 24 Hours [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang