Musibah atau Anugrah?

11.5K 700 19
                                    

Aku mengecek penampilanku berkali-kali di cermin. Memastikan pakaian yang aku pakai sudah matching atau belum, wajahku terlihat kusam atau tidak, rambutku rapi atau tidak. Bukan, bukan karena aku ingin pergi berkencan atau berpergian. Melainkan hari presentasi yang aku tunggu sudah tiba.

Sebulan terakhir menjadi bulan yang sibuk. Ujian Akhir Semester mulai dilaksanakan dua hari lalu, hingga seluruh dosen kebanyakan memberi tugas tambahan jika-jika nilai UASnya tidak mencukupi standar. Aku sendiri menghabiskan waktu kebanyakan di perpustakaan atau sekedar berkonsultasi dengan dosen. Kimia-kimia sungguh menarik bagiku, namun aku harus mengakui kimia cukup membuatku stress. Belum lagi biologi yang hafalannya segudang. Jangan lupakan fisika, pelajaran yang paling aku benci. Dari seluruh pelajaran, Pengetahuan Bahan Pangan lah yang paling aku tunggu-tunggu, karena aku sudah menyiapkan bahan presentasiku dengan matang dari minggu lalu.

From: Janice

Ron, nebeng ya. Aku tunggu di depan gang nanti jadi kamu ga harus masuk ke dalam gang. Thankyou dear.

Setelah mengamati penampilanku di cermin untuk terakhir kalinya, aku mengambil semua barangku dan bergegas pergi. Rumah Janice berada dekat universitas kami, hingga menjemputnya tentu tidak merepotkanku.

"Gila gila gugup banget nih aku gimana ya", katanya begitu dia membuka pintu mobil. Janice memang cerewet dan cenderung ceplas-ceplos. Seringkali aku berpikir mengapa dia memilih teknologi pangan dibanding ilmu komunikasi. Dia pasti cocok disana.

"Emang belum belajar?", tanyaku sambil menyetir.

"Duh, presentasikan suka pelit nilainya. Mending belajar Kimia Analitik dan korbanin presentasi deh, daripada dua duanya keteter", cerocosnya seraya memasang seatbelt.

"Kamu sih enak, pinter. Kesayangan si dosen ganteng lagi"

Aku merona. Aku dijuluki anak kesayangan Pak Chris hanya karena Pak Chris seringkali mempercayakan urusan kelas padaku. Intinya, apa-apa aku. Padahal kan itu karena aku memang ketua kelas.

"Mana kesayangan. Biasa aja"

Aku terdiam. Sejak pembicaraan terakhir sebulan lalu di mobil Pak Chris, kami tetap biasa saja. Maksudku, dia segera pergi setelah mengucapkan kalimat yang membuatku bingung. Diapun tidak mencoba menjelaskan via pesan atau apa. Bertemu di kampus selayaknya dosen dan mahasiswa, seperti percakapan kami waktu itu tidak pernah terjadi. Hah, lagipula apa yang aku harapkan.

"Lagi, ga ngerti deh sama system kampus. Kita kan masih semester satu, masa presentasi udah kaya sidang. 3 dosen gitu yang nilai. Gimana ga gugup coba"

"Mungkin itu salah satu cara kampus biar kita familier sama presentasi. Jadi pas skripsi ga kaget kaget banget"

"Ah susah deh sama anak beasiswa mah. Intinya, ga harus dari semester satu juga kali"

Aku tertawa. Jika dalam suatu kelompok biasanya ada drama queen, jelas Janicelah orangnya di grup kami. Selain itu, dia juga ratu gosip dan berita berjalan. Aku, Ivon, dan Lidwin selalumendapat berita terbaru darinya.

Kami sampai di kampus dan segera menuju kelas kami di gedung B. Sebagai informasi, kampusku yang berada di Karawaci memiliki 6 gedung yang terletak cukup jauh satu sama lain. Aku rasa, gedungku adalah gedung paling menyedihkan di antara semua gedung. Selain gedungnya sudah agak tua, gedung ini dikhususkan untuk anak-anak teknik, matematika, desain, pangan, arsitek, musik. Kami dikenal sebagai mahasiswa yang "biasa saja", memakai baju biasa saja, riasan biasa saja. Kami juga dikenal tidak bisa bersenang-senang, karena tidak banyak dari kami yang menjadi penikmat kehidupan malam. kami belajar dan belajar, mengerjakan laporan, beberapa menginap di kampus hanya untuk menyelesaikan tugas. Sedangkan gedung lainnya, terlebih gedung fakultas ekonomi, gedungnya baru, mahasiswanya trendy dan hedon. Mereka seringkali berpesta di club, menghabiskan uang di restoran mahal. Kuliah sebagai sampingan saja tampaknya.

Love You Dangerously (completed☑)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang