9

279 57 12
                                    

“KANGKUNGNYA keasinan, ya, Rin?”

Berkat Mas Har, renunganku siang ini terpaksa ditunda. Duh, jangankan tumis kangkung, ikan asam manis yang biasa memicu perpecahan kartu keluarga―dalam hal ini, aku dan Yogi―pun tak kusentuh sama sekali. Lekas kucicip sedikit kuah kehitamannya. “Kayaknya Mama mau kawin lagi, deh.”

“Hush!” Ibuku mendelik, dengan pose akan melempar kerupuk. “Kamu kayak orang dulu aja, Rin.”

Cengiranku baru hendak muncul ketika Yogi meletakkan sendoknya, kemudian memandangku sinis. “Tau, nih. Awas aja kalo kejadian betulan. Kakak bakal jadi orang pertama yang aku musuhin.”

“Sori, deh.” Sambil berlagak tak melihat manyunan Yogi, kuputuskan untuk mulai menyantap makan siangku yang sedari tadi terabaikan. Salahku juga, sih, mengangkat topik sensitif itu (lagi!) sebagai candaan. Tapi, sumpah, ikan asin saja bakalan minder kalau disandingkan dengan tumis kangkung ini.

“Ikannya enak banget, ih. Aku nambah, ya, Bu?”

Sendok dalam genggamanku sekonyong-konyong jatuh kala mendengar suara itu.

Suara yang beberapa hari kuhindari demi ketenangan hidup.

“Oh, iya, ambil aja!” titah ibuku. “Di wajan masih banyak, kok!”

Suaramu.

“Lagian, sih, kamu bukannya makan bareng kita aja. Emang belum beres juga kerjaanmu, Wan?” sambar Mas Har, sembari meneguk air putih banyak-banyak dari mug. Ternyata tidak kuat juga lidahnya.

“Dikit lagi, sih, Mas,” jawabmu dengan senyum mengembang. “Aku ke dapur dulu, ya.”

Tanpa sadar, tatapanku iringimu sampai menghilang di balik tirai dapur.

Berbonus pinta: please, kamu tidak usah kembali lagi.

“Rin, sendok kamu jatuh, tuh.” Celetukan Mas Har membuatku gelagapan. Usai memungutnya―bahkan tanpa disuruh―ia pun berteriak. “Eh, Wan! Tolong ambilin sendok sekalian, ya!”

Mendadak, aku sangat ingin merebus hair dryer dan catokan milik lelaki satu itu.

“Nih.”

Tarikan bibirmu saat menyerahkan sendok berhasil membungkamku. Memberiku kengerian luar biasa hingga menguapkan kata “terima kasih” yang sudah berada di ujung lidah.

Tidak. Aku tidak boleh terlibat lebih jauh dengan rahasiamu.

“Kok nggak dilanjutin makannya, Rin?”

Mengapa kamu bisa bersikap sesantai itu pada orang yang memegang kartu As-mu?

“Kayaknya Arin terpesona sama kamu, deh, Wan.” Mas Har terkekeh, sembari menyenggol lenganku tanpa ampun. “Udah, maju aja. Mas, kan, pengin liat kamu kelayapan pas malem Minggu, bukan malah ngejogrok di rumah sambil jotos-jotosan sama Rafli. Bener, nggak, Gi?”

“Iya. Tidur aku nggak bakal tenang kalo mereka udah mulai jerit-jerit,” jawab Yogi cuek.

Oke, headphone gaming segede bagong milik Yogi juga akan kurebus dalam waktu dekat.

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang