29

244 36 29
                                    

BOTOL-BOTOL sampel parfum yang dibawa Mas Har seketika menggelinding seiring pengakuanku siang ini. Jeritan super nyaringnya pun menyusul, "RAFLI BENERAN NEMBAK KAMU???"

"SSSTTT! JANGAN KENCENG-KENCENG, DONG, NGOMONGNYA!" Dibantu kamu, kupunguti botol-botol plastik itu sembari memekik. Yang seharusnya histeris kan aku! "UDAH BASI BANGET, TAU?"

"SIAPA SURUH KAMU BARU CERITA SEKARANG?"

"Aku juga baru inget!" sahutku nyolot. Bercerita langsung di hari H, sekarang, atau malah tahun depan, kan, tidak ada bedanya: tetap bikin Mas Har jerit-jerit tak karuan. "Lagian, bukan nembak, tapi nyatain!"

Mas Har masih menuntut penjelasan. "YA APA BEDANYA NEMBAK SAMA NYATAIN?"

"Beda, lah! Kalo nembak, dia minta aku buat jadi pacarnya. Nah, ini? Cuma ngomong suka doang, tapi nggak ngajak pacaran!" Kusemprotkan sampel parfum ke masing-masing kertas tester, untuk kemudian mengendusnya satu per satu. "Ini kenapa wanginya aneh-aneh banget, sih? Yang satu kayak kembang kuburan, satu lagi kayak walang sangit. Yang bikin nggak niat jualan amat!"

"KENAPA NANGGUNG BANGET, SIH?" sungut Mas Har lagi.

Aku berdecak. "Udah, deh. Kenapa jadi Mas Har yang gregetan gitu?"

"Abisnya, kan ...." Mas Har melirik kamu, yang sedari tadi tak mengirim reaksi. "Nggak jadi, deh."

Kenapa juga harus tidak jadi?

"Nah, yang ini baru pas. Seger banget wanginya, pasti banyak yang suka. Iya, kan, Mas Awan?" tanyaku padamu. Berhubung kedua tanganmu sudah kembali sibuk―satu menggenggam stylus, satunya lagi memegangi PC tablet―aku berinisiatif mendekatkan kertas tester ke hidung mancungmu.

"He'eh. Jadi pengin makan pir," jawabmu sekenanya. Memang, ya. Pikiranmu, tuh, isinya cuma makanaaan saja! "Emang seandainya Rafli minta kamu buat jadi pacarnya, kamu bakal jawab apa, Rin?"

Iya, ya. Semisal Rafli benar-benar memintanya, jawaban apa yang harus kuberikan?

Mau?

"Pasti mau, lah, ya. Toh, kamu lagi nggak naksir siapa-siapa."

Atau ... tidak?

"Keliatannya, sih, nggak, Wan," sambar Mas Har.

"Oh, ya?" tanyamu.

Mas Har mengangguk. "Sekarang kayaknya, tuh, Arin suka sama―"

"TELEPON! ADA TELEPON!" teriakku sambil memamerkan layar ponsel. Terima kasih sebesar-besarnya pada Tante Farah, selaku penelepon, yang telah menyelamatkanku di situasi semencekik ini! "AKU ANGKAT DULU, YA, MAS! PENTING BANGET, NIH, KAYAKNYA!"

"Dasar jomblo. Ada yang nelepon aja heboh banget kayak dapet duit segepok," ledek Mas Har.

Kujulurkan lidah sebelum menekan tombol accept. "Halo, Tante?"

"Rin! Kado dari kamu udah sampe, nih!" seru Tante Farah, setengah bersorak. Penyebabnya pastilah hadiah pernikahan kirimanku: ilustrasi berbingkai besar―sebesar dana yang kukeluarkan untuk membelinya, hiks!―yang memuat wajah beliau dan Pak Batara. Diberi respons seantusias ini, rasanya tidak percuma juga kupelototi foto pernikahan mereka (yang ku-capture dari status WhatsApp Tante Farah) seharian penuh demi bisa menggambarnya. "Makasih, ya, Sayang. Tante sama Om suka banget!"

Sudut bibirku tertarik. "Hehe, sama-sama, Tan."

"Kamu tuh, Rin. Udah cantik, berbakat pula!" puji beliau, yang segera kubantah dalam hati. Mana bisa aku menelan mentah-mentah pujian "cantik" dari wanita setengah bidadari begini? "Tadi pas Tante upload di Instagram, banyak banget yang nanya 'pesan di mana?', tau? Username kamu apa, sih, Sayang? Biar Tante bisa tag langsung ke kamu. Lumayan, kan, kalo nanti banyak yang order?"

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang