16

237 46 22
                                    

UNTUK kesejuta kalinya hari ini, suara ketukan pintu menginterupsi keasyikanku menyantap chiki Ring―aku tidak menyangka Rafli akan mewujudkan celotehan asalku kemarin―di kamar. Lalu, untuk kesejuta kalinya juga, kepalamu menyembul dari balik pintu. "Boleh nanya, nggak?"

"Lagi?"

Kamu meringis. "Hari ini aku udah masak mi, belum, sih?"

"Udah kayaknya. Tadi pagi, kan, Mama nggak beli sarapan," jawabku malas.

"Oke, deh. Makasih, ya."

Kesal, kujejalkan empat lingkaran berperisa keju itu sekaligus ke dalam mulut. Taruhan, deh, tidak sampai lima menit, kamu bakal kembali dengan pertanyaan yang tak kalah remehnya.

"Oh, iya. Kamu tau, nggak, aku naruh Bleki di mana?"

Tuh, kan. Belum juga aku selesai mengunyah, kamu sudah muncul lagi saja.

"Palingan di ruang tamu." Aku baru menyahut sesudah chiki Ring di mulutku ludes tertelan. Buat yang belum tahu, nih, Bleki itu bukan anjing, melainkan panggilan untuk PC tablet tersayangmu. "Mas Awan, kan, lagi suka ngerjain gambar di ruang tamu, biar bisa sambil nonton TV."

"Oke. Makasih lagi."

Kamu sudah terlihat akan menutup pintu. Namun, belum juga melakukannya di hitungan ketiga.

"Apa lagi, sih, Mas?" hardikku. "Mau aku bantuin nyari?"

"Nggak, aku ... mau minta itu. Kayaknya enak."

Sebelum mengulurkan bungkusan chiki padamu, aku menepuk kening. Benar-benar, ya, biarpun sedang panik, tetap saja soal makanan nomor satu! "Kalo kurang, bilang. Aku masih ada lima bungkus lagi."

"Makasih, Rin."

Bukan beranjak, kamu justru dengan santainya menduduki tepi kasurku. Duh, aku baru sadar. Kamu, tuh, anteng banget, ya, kalau sudah dikasih makanan begitu? Kayak bocah, tahu!

"Kamu ngapain ngeliatin aku begitu?"

"Hah?" Aku gelagapan. "Nggak! Siapa juga yang ngeliatin?"

"Nggak ikhlas, ya?"

"Ikhlas nggak ikhlas juga udah Mas makan, kan, chiki-nya?" cibirku. "Lanjutin aja makannya."

Kamu tersenyum, dengan serbuk keju di masing-masing sudut bibir. Nah, nah, makin mirip bocah saja, kan? Jika saja ini sinetron kacangan, pasti bakalan aku seka tuh. Sayangnya, ini ...

"Di bibir kamu banyak kejunya, tuh."

... dunia nyata.

"Di bibir Mas juga banyak!" Aku mengulum bibir, berusaha melenyapkan jejak-jejak keju yang tertinggal selagi kamu tertawa. "Gimana? Udah ilang, belum? Apa masih ada?"

"Masih!"

Tawamu masih sayup-sayup terdengar saat aku merangkak turun dari kasur, pun meraih cermin kecil di meja belajarku. Ah, ternyata bibirku betulan belepotan serbuk keju, sampai jadi oranye begini.

"Kamu kayak anak kecil aja, deh, Rin," ledekmu, di sela-sela kunyahan.

"Yeh, liat, nih!" Kusejajarkan cermin dengan bibir tebalmu. "Mas Awan juga belepotan!"

"Wah, iya juga, ya?"

Masih sambil memegangi cermin, tanpa sadar kutontoni segala tindak-tandukmu. Betapa repotnya kamu mengusap sudut bibir dengan ibu jarimu (usai menjilatnya terlebih dulu, tentu saja), betapa kamu harus berkali-kali memastikan serbuk keju di sana telah musnah sepenuhnya (aku jadi curiga kamu diam-diam hobi berkaca kayak Mas Har), serta betapa lebar senyummu setelahnya.

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang