15

312 49 59
                                    

SELAIN meja makan, pemersatu para penghuni kos kami adalah tayangan perdana film-film hits di televisi. Aku―yang tidak tertarik menjajaki bioskop semenjak partner menontonku (iya, Rafli) beralih menjadi musuh―duduk diapit Abin dan Mas Har di sofa, lengkap dengan seplastik besar keripik singkong yang jadi rebutan semua orang. Sementara, alih-alih menduduki extra seat di kanan-kiri kami, kamu dan Yogi justru memilih untuk menggesernya agar bisa leluasa berselonjor di gelaran karpet.

"Itu si Milea kenapa nggak dengerin penjelasannya Dilan dulu, sih? Bikin masalah makin ruwet aja!" komentar Mas Har, untuk kesejuta kalinya, sambil meraup keripik singkong banyak-banyak dariku.

"Biar durasinya panjang, lah!" timpalku jengkel. Tipe penonton macam Mas Har, nih, yang bikin aku susah berpaling dari Rafli. Tak peduli semenyebalkan apa film yang diputar, Rafli akan tetap terpaku pada layar tanpa banyak berkomentar. "Dari tadi komplain mulu, kenapa nggak bikin film sendiri aja biar puas?"

Yogi mendesis, "Ssst! Jangan berisik! Aku nggak kedengeran!"

"Jaketnya Dilan bagus, tuh, Bin. Kamu nggak mau beli yang kayak gitu?" Tanpa menghiraukan larangan Yogi, Mas Har mencolek Abin dari balik punggungku. "Kayaknya di tempat kerja Mas ada yang jual, deh, tapi lupa berapaan. Kalo kamu mau, besok Mas simpenin, jadi kamu tinggal nebus di kasir aja."

Abin tampak berpikir. "Menurut kamu, aku bagus, nggak, pake jaket itu, Rin?"

"Alay," pungkasku, "lo tuh udah cakep, Bin, make baju nggak usah yang aneh-aneh!"

Sambil manggut-manggut, kudengar setelahnya Abin menolak, "Nggak, deh, Mas Har. Arin nggak suka."

"Duh, ngapain juga kamu dengerin si Arin, Bin? Di mana-mana kalo orang udah cakep, pake baju model apa juga pantes," kilah Mas Har. Huuu, memang aku tidak tahu kalau dia punya maksud terselubung? Walau niatnya cuma membeli jaket, Abin pasti bakal diberi tugas tambahan―seumpama dititipi seabrek barang diskonan untuk dibayarkan ke kasir (biasanya lantaran bukan waktunya belanja karyawan), atau disuruh menyelundupkan makanan ke sejumlah counter (jadi Mas Har dan kawan-kawan tidak perlu menunggu jam istirahat agar bisa makan)―jika nekat datang ke department store tempat Mas Har bekerja. "Eh, ngomong-ngomong soal baju, kamu mau ke mana rapi banget begini, Rin?"

Set! Mata lebar Abin seketika terarah padaku, ah, tepatnya terusan denim tanpa lengan yang kukenakan. Kontan aku kelabakan. "Nggak ke mana-mana! Tadi pagi, tuh, aku abis beresin lemari, terus nemu baju-baju lama yang jarang dipake. Sayang, kan .... Jadi aku pake aja, deh!"

"Oh, gitu ...."

Bagai mengamini gumaman Mas Har, bibir Abin membulat. Lekas kupusatkan tatap padamu yang tak berpaling sedikit pun dari televisi. Huh, kurang sial apa aku hari ini? Sudah kepalang malu, orang yang teramat kuharapkan reaksinya justru sibuk memandangi wajah gadis lain―dalam kasus ini, Milea alias Vanesha Prescilla―tanpa melirikku barang sedetik.

Peka, dong, peka!

"Eh, Rafli! Sini gabung!" Mas Har melambaikan tangan ke belakang sofa. "Ada tontonan bagus, nih!"

Tak butuh waktu lama untuk Rafli, yang baru saja kembali dari kegiatan antah-berantahnya di luar sana, mengabulkan ajakan tetua kos itu. "Film apaan, nih? Dilan yang 1990 atau 1991?"

"Ini yang 1991. Gila, ya, perasaan belom lama keluar, deh, udah tayang aja," jelasku dengan bungkusan keripik terulur, bermaksud menawarinya. Bukan menyambut, Rafli justru menaruh sebatang cokelat di pangkuanku sebelum menjatuhkan diri di karpet. "Eh, apaan, nih?"

Paham bahwa yang kutitikberatkan ialah alasan atas pemberiannya, Rafli menjawab, "Tadi dikasih sama customer."

"Wah! Thanks, ya!" Kurobek kertas bergambar kacang mede yang melapisi cokelat itu. Namun, tatapan empat laki-laki lain di sekeliling membuatku batal melahapnya. "Kenapa pada liat-liat? Mau?"

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang