21

252 42 26
                                    

SETELAH nyaris tiga tahun pula, untuk pertama kalinya, aku berani menanggalkan gambar-gambar yang bergelantungan di atas meja belajarku. Sekilas memang terlihat seperti gambar manga biasa. Namun, di baliknya, terdapat barisan kata―terlalu menjijikkan untuk menyebutnya puisi―yang kutulis tipis-tipis, agar tak tercetak dan merusak gambar di bagian muka kertas.

Dan, tak pernah kusangka 'kan seperti ini jadinya.

Lembar pertama yang kuraih bergambar seorang gadis yang tengah merenung di rerumputan. Rambut sepunggungnya berkibar dipermainkan semilir angin. Dan, dengan mata berkaca-kaca, juga guratan garis di wajahnya, siapa pun tahu gadis itu sebentar lagi akan menangis.

Hanya sesingkat pejaman mata.

Lembar kedua bergambar gadis―ya, masih karakter dan tempat yang sama―yang merebah di rerumputan dengan mata terpejam. Senyumnya terulas cerah, secerah warna-warna bunga pada flower crown yang menghiasi puncak kepalanya. Semua terlihat baik-baik saja, sampai ....

Kamu tak lagi ada.

Tangisan pilu sang gadis mengisi lembar ketiga.

Menyisakan dua lembar terakhir yang masih tergantung, kuceburkan gambar-gambar seukuran kartu pos itu ke laci terbawah, bergabung dengan tumpukan sketsa gagalku. Lalu, belum sempat aku menutupnya, sekepal bola kertas di sudut laci terlanjur menarik perhatianku. Lekas kuambil tanpa pikir panjang, untuk selanjutnya kubentangkan lebar-lebar agar bisa memastikan isinya.

Sesuai dugaan, kertas kusut itu memuat coretan lawasku: gadis berambut sepunggung (lagi-lagi!) yang bergandengan dengan dua pemuda sekaligus di kanan-kiri. Meski pemuda-pemuda itu berwajah serupa, ekspresi yang ditampilkan keduanya sungguhlah berbeda. Satu tersenyum lebar, sementara sisanya bermimik hambar. Gaya berpakaian mereka pun sama kontrasnya. Satu terlihat santai dan hangat dengan balutan jaket hitam, satu lagi terkesan kaku dengan kemeja sewarna langit.

Sembari mengelus lunturan tinta spidol yang menghiasi gambar jaket si pemuda, aku tersenyum miris.

Tahu apa yang lucu dari gambar ini?

Mereka nyata, meski tak sebahagia yang tertoreh di kertas.

Tak perlulah menjelaskan siapa gadis yang mendominasi berlembar-lembar karyaku itu karena hanya dengan melihat poninya saja, siapa pun pasti akan mengakui kadar kemiripannya dengan seseorang: aku. Sementara, dua orang pemuda yang mengapit sang gadis adalah representasi sempurna dari tetanggaku sewaktu masih menghuni rumah sebelumnya.

Virgo dan Leo. Kembar identik dengan tanggal lahir berbeda (kalau saja Leo tidak lahir jelang pergantian hari dan baru disusul Igo, sapaan akrab Virgo, sepuluh menit kemudian) yang selalu membuatku bingung saat salah satunya bertandang ke rumah. Bagaimana tidak? Sesatunya hal yang bisa kujadikan acuan untuk membedakan mereka hanyalah jumlah unyeng-unyeng, itu pun jika Igo tidak usil melapisi kepalanya dengan topi atau tudung jaket.

Namun, berkebalikan dengan fitur wajah berikut badannya yang bak pinang dibelah dua, imej mereka sangat berbeda. Leo, yang ke mana pun perginya selalu berkemeja, nyaris tak pernah bersuara jika aku tidak lebih dulu mengajaknya bicara. Senyum dan tawanya juga selangka hujan di musim panas, membuat kesan dinginnya semakin menjadi-jadi. Hanya saja, kebanyakan orang tidak tahu kalau di balik kulit luarnya itu Leo berhati sehangat seduhan kopi. Walau tidak memelihara seekor kucing pun―Igo dan sang ibu yang sensitif terhadap bulu-bulu halus sudah tentu melarang ia melakukannya―Leo rutin menyetok berbungkus-bungkus cat food untuk diberikan pada kucing-kucing nomaden yang ditemuinya di jalan.

Igo sendiri, dengan pakaian kebangsaannya: kaus, jaket, dan ummm, sleeveless, berkepribadian sesantai gaya busananya. Cara bicaranya agak slengean, cenderung ceplas-ceplos sepertiku. Dan, surprisingly, kesamaan kami bukan cuma itu. Igo juga suka sekali berlama-lama di depan netbook meski bukan untuk menggambar. Bersama teman-temannya yang sesama maniak komputer, Igo kerap menciptakan game (mayoritas bergenre FPS alias first person shooter) yang bisa diunduh secara gratis lewat Play Store.

Bersama AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang