Kentut

584 65 0
                                    

"Pak, saya benar-benar tidak mengerti dengan percintaannya Romi. Dia laki-laki, dikhianati, tapi masih bisa saja menerima perempuan itu untuk kembali. Saya sendiri menyesal memberi tawaran untuk membantunya." ucap Mei pada pria yang ada didepan, sehabis mempresentasikan mengenai percintaan Romi yang pernah Mei tolak untuk dipelajari.

"Jadi, kamu sudah tau bagaimana pentingnya percintaan dalam kehidupan Romi?" pria itu tersenyum sinis. "Saya sudah menebak kalo kamu akan kembali kesini untuk hal ini."

"Ini bukan sebuah tebakan, Pak Hamka memang sudah tau. Pak Hamka bisa menebak segalanya tentang saya, tapi saya tidak bisa menebak sama sekali tentang Bapak." ucap Mei bergurau.

"Dengar, Ini mengenai penilaian kita terhadap seseorang, Meysha. Coba kamu pahami diri saya, maka kamu akan tau dan bisa menebak apapun yang akan saya lakukan nantinya." ucap pria bernama Hamka. Dia adalah seseorang yang mengutus langsung Mei, itu kenapa mereka hanya berdua dalam ruangan itu. Sebut saja ini misi rahasia, lalu Mei harus bisa menuntaskannya. Dan misi itu adalah tentang Romi.

"Sekarang simpulkan dari yang saya presentasikan tadi." tambah Hamka.

"Baik. Romi Deradihardjo, seorang pengusaha muda yang telah menjalin hubungan cukup lama dengan Teresia Jeremy, teman kuliahnya dulu di Harvard University. Saat Romi benar-benar menjatuhkan hati padanya, Teresia malah pergi kencan bersama teman laki-lakinya dari Amerika dan melakukan hal tidak sewajarnya seorang teman. Romi mengetahui hal itu, hingga dia memutuskan hubungan dengan Teresia, namun suatu hari perempuan itu datang lagi, dan meminta Romi kembali padanya." Mei berdecak mendengar penjelasannya sendiri. "Saya tidak pernah menyangka jika Romi akan selempeng itu pada cinta."

Hamka tersenyum meringis, "Sudah saya bilang, jangan mengukur cinta menurutmu, dengan menurut orang lain. Kamu hanya mengerti cinta di novel yang kamu baca setiap harinya, tapi tidak dikehidupan nyata." ucap Hamka.

"Tapi sebagai laki-laki yang wajahnya lumayan, dan punya banyak harta. Pasti ada saja perempuan yang mendekatinya, dan itu harusnya bisa membantu dia untuk melupakan Teresia. Dia tidak perlu lagi menerima perempuan itu dalam kehidupannya."

Hamka tersenyum, dia mengerti sekali tentang Mei, sejak kecil Hamka lah yang merawatnya hingga membuat gadis itu menjadi seorang yang tangguh sepertinya, mentalnya terlatih kuat, dan masalah cinta adalah hal paling aneh bagi gadis itu. Ke profesionalan Mei dalam bekerja pun sangat diacungi jempol, meski atasannya adalah ayahnya sendiri, tapi gadis itu tidak pernah menggunakan kekuasaan pria tersebut. Semua itu, yang membuat Hamka bangga, dan mempercayainya untuk menjaga Romi.

"Perlu kamu tau, seorang laki-laki akan mempertahankan apapun yang membuatnya jatuh cinta. Jika dibandingkan dengan perempuan, laki-laki akan lebih sedikit jatuh cintanya. Tapi perasaan cinta itu jauh lebih banyak daripada perempuan." ucap Hamka. "Jangan meremehkan cinta laki-laki ya, karena saya juga laki-laki." tambahnya yang membuat Mei terkikik.

"Baiklah, saya akui cintanya laki-laki lebih besar dari perempuan."

"Yasudah, kembali ke topik awal. Dan, sekarang buat Romi mengerti bahwa Teresia tidak baik untuknya."

Mei mengangguk, "Siap."

***

"Darimana lo?" ucap Romi yang sedang bersantai sambil menonton tv, menyadari Mei yang baru datang dan hendak pergi ke dapur.

"Eh, mmm, dari luar. Bentar ya, gue kedalam dulu."

"Minta ijin dulu dong sama PEMILIK rumahnya." ucap Romi bernada menyindir.

Mei langsung berhenti dan menoleh kearah Romi yang masih terduduk santai. "Kan tadi sudah ijin."

"Mana? Gue gak denger ada kata ijin."

"Anjay nih orang," gerutu Mei sampai Romi tidak akan bisa mendengarnya. "Saya minta ijin, untuk pergi kedalam dulu ya Pak." kini Mei juga ikut menyindir.

"Diijinkan." jawab Romi. Dan Mei pun melangkah sambil memanyunkan bibirnya.

"Katanya Romi itu sikapnya dingin, nggak banyak bicara. Tapi Pak Hamka salah, dia lebih nyebelin dan suka mendebat." gerutu Mei dilangkahnya.

***

"Bisa nggak lo berhenti liatin gue?" gerutu Romi yang sedang membereskan berkas-berkasnya diatas meja kerja.

"Kan ini tugas gue." jawab Mei.

"Siapa sih yang ngasih tugas gak penting itu?"

"Ini semua sangat penting, apalagi buat lo."

"Oh ya? Gue kan nanya, siapa? jawabannya malah nggak sesuai." ucap Romi kesal. "Ikut gue nggak?"

"Kemana?" tanya Mei yang sudah mengikuti langkah Romi didepannya.

"Ketemu sama Tere."

"Egh, jangan!" Mei refleks, hingga Romi pun ikut berhenti. "Maksud gue, jangan dulu." gadis itu membenarkan ucapannya.

"Kenapa?" Romi masih berdiri didepan Mei, keduanya saling menatap.

"Gue sudah tau semua tentang lo dan Teresia Jeremy. Dia yang telah khianati lo. Dan, sekarang masih lo percaya dan cintai? Jujur, memang gue nggak pernah jatuh cinta pada siapapun, tapi gue tau betul bagaimana rasanya dikhianati. Untuk apa lo pertahanin dia, lagian dia seperti bukan perempuan baik-baik." ucap Mei berusaha mencegah Romi agar tidak pergi menemui Tere.

"Oh jadi tadi waktu lo ngilang, untuk cari tau hubungan gue sama Tere?" sepertinya laki-laki itu sudah mengetahui.

"Bisa dibilang seperti itu. Bukannya gue larang lo buat ketemu Tere, tapi perasaan gue bilang kalo dia tidak baik buat lo."

"Oh ya? Terus siapa yang baik buat gue?" Romi kembali duduk dikursi kerjanya.

"Seseorang yang mencintai lo dengan tulus." jawab Mei.

Tiba-tiba Romi tertawa keras, "Duduk disitu gih." dan dia menyuruh Mei untuk duduk di depannya.

"Gue serius!" sentak Mei.

"Gue tanya sekarang, gimana cara kita bisa tau seseorang itu tulus atau tidak? Ha? Kalo lo tau caranya, kasih tau gue." pertanyaan Romi itu membuat Mei berpikir keras. Hingga beberapa menit, Mei masih mengetuk-ngetuk meja sebagai tanda berpikir.

"Akh ayolah, merasakan cinta saja lo belum pernah, gimana bisa tau cinta itu tulus atau tidak." ucap Romi jengah.

"Tidak. Lo salah. Gue tau jawabannya." ucap Mei dengan wajah datarnya, Romi kira hanya dirinya dan Vero saja yang bisa melakukan hal membosankan bagi orang lain itu, tapi ternyata Mei seorang perempuan pun bisa.

Romi mengendikkan alisnya sebelah, sebagai tanda bertanya.

"Cinta yang tulus hanya dimiliki oleh kedua orang tua." jawaban itu langsung menohok hati Romi.

Mei terpejam matanya, meski tanpa seorang ibu, dia bersyukur mendapat cinta yang tulus dari ayahnya. Itulah cinta tulus satu-satunya yang dirasakan oleh Mei. Kata siapa dia tidak mengerti makna cinta tulus itu.

"Gue kira lo paham dengan omongan gue. Jadi, pikirkan dulu apa yang pernah lo lewati karena Tere. Alhamdulillah, kalo lo tidak senekat sahabat lo hingga menghancurkan keyakinannya sendiri." ucap Mei masih menatap tajam Romi.

"Oke-oke, gue akan pikirkan itu. Tapi berhenti menatapku seperti itu!" karena tiba-tiba perempuan itu terlihat mengesankan, apalagi jika Mei memandangnya terus menerus seperti kali ini.

"Ini sudah tugas." ucap Mei.

"Haaah." Romi menghembuskan napas kasar, lalu berdiri.

"Loh, kemana lagi?" tanya Mei yang mengira Romi akan berubah pikiran dan membatalkan pertemuannya dengan Tere.

"Mau kentut, napa? Ikut? Ayo." ucap Romi jengah. Mei hanya nyengir, lalu berdiri. "Eh mau kemana lo?"

"Ikutin lo." ucap Mei masih dengan keras kepalanya untuk menjaga Romi.

"Anjiiir, gue kentut ini!"

-Ro & Mei-

Regards
Umi Masrifah

PerisaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang